Topeng

Sudah berpuluh-puluh tahun negara ini hidup dalam kedamaian. Kedamaian yang nyata, abadi, dan tak terpatahkan. Jauh di atas sana, sinar matahari turut andil menjadi saksi dalam melihat khalayak ramai hidup tanpa konfrontasi. Menjelang pagi semua orang sibuk bersiap keluar dari kandang masing-masing demi berangkat ke sangkar raja yang memberi upah secukupnya, upah yang dinilai wajar oleh pemerintah dan pengusaha. Cukup bagi mereka tak berarti cukup bagi pekerja. Kendati demikian, tidak pernah sedikit pun terendus bau protes apalagi pemberontakan. Semua orang menerima hidup apa adanya, hidup tanpa ada rasa khawatir, tanpa memikirkan hal yang berat, dan yang terpenting tanpa bergelut dengan penguasa. Apalagi yang perlu dipertimbangkan jika negara menjamin kedamaian semua penduduknya? Untuk apa protes kalau hidup tak pernah tersenggol satu milimeter pun?

Alfa melangkah dengan pelan dari ranjangnya, sembari mengingat mimpi aneh yang mengitari alam bawah sadarnya. Fajar telah lewat beberapa menit yang lalu, usai menyembur cahaya awal kepada kehidupan di muka bumi. Belum lagi selesai mengumpulkan jiwa, dia harus berjalan melewati karpet hangat menuju gorden dan jendela yang meronta-ronta untuk dibuka agar bisa menerima sambutan mentari. Jauh dari kata sunyi, jalanan sudah dipenuhi oleh tubuh yang rohnya masih terkantuk-kantuk. Mata Alfa memandang jauh ke bawah melihat beratus-ratus kendaraan berkumpul mengeluarkan auman mesin. Suara auman itu kalah oleh suara yang terdengar lebih berisik, bunyi klakson yang dibunyikan oleh orang yang tidak punya kesabaran saat lampu lalu lintas baru berganti menjadi hijau.

Lelaki yang bertubuh tinggi dengan rambut pendek berwarna hitam itu lekas bersiap untuk mandi, berganti pakaian, sarapan ala kadarnya, dan menuju kantor. Dia bekerja tujuh hari seminggu dalam sebulan penuh. Tiada hari libur di kalender New Santara, sebuah negara kepulauan yang membentang panjang dari tepi barat Samudra Hindia ke tepi timur Samudra Pasifik. Bekerja di pemerintahan dan perusahaan swasta tidak ada bedanya. Mereka semua seperti motor yang diilhami tenaga infinit untuk melaju tanpa henti, dikendalikan penuh oleh bosnya. Dengan semua keadaan itu, tidak ada di antara mereka yang mengeluh. Entah karena takut atau memang tidak acuh.

Seluruh badannya dibungkus oleh kemeja polos dan celana bahan yang rapi dan wangi. Sejenak terdiam, Alfa lalu mengambil topengnya, menutupi wajah seakan membangun tembok beton yang kokoh untuk melindungi nyawanya. Sekarang tidak akan ada satu pun orang yang mampu melihat wajah dan air muka Alfa. Dengan menyandang ransel lusuhnya ke punggung yang sedikit bungkuk, dia keluar dan mengunci pintu apartemennya dengan sedikit kesulitan. Sudah tua betul memang apartemen itu. Gaji Alfa yang pas-pasan tidak sanggup menyewa apartemen yang lebih bagus.

Saat menghadap ke belakang, seorang perempuan yang juga menggunakan topeng terpampang jelas di hadapan Alfa. Rambut cokelatnya yang terurai panjang memperlihatkan sebuah keanggunan. Walaupun wajahnya tertutup topeng, Alfa bisa merasakan ada sentuhan lembut yang mengelus hatinya, hingga perlahan memompa darahnya sampai mengalir lebih kencang.

Tanpa ragu, Alfa langsung memulai percakapan ringan. “Sungguh pagi yang damai dan cerah, ya, Dina.”

“Tidak berbeda sama sekali dari hari biasanya. Hari yang menyegarkan,” sahut Dina dengan nada gembira.

“Walaupun napas sesak akibat polusi udara dan suara.”

“Apa boleh buat. Kota Kartavia harus menampung banyak manusia demi memajukan peradaban.”

“Mau jalan bersama?”

“Boleh.”

Hampir setiap hari Alfa dan Dina jalan kaki beriringan. Kantor mereka memang berdekatan, hanya terpisah oleh jarak seratus meter. Sepanjang jalan semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Udara pagi yang seharusnya sejuk dihantam oleh gejolak tiada akhir dari kebisingan kota. Wajah mereka semua ditutupi oleh topeng, tanpa terkecuali. Topeng yang menyembunyikan segala ekspresi manusia. Hanya satu pembeda di antara mereka, yaitu bentuk topeng. Tiap orang memakai topeng yang berbeda, yang masing-masing diberikan oleh pemerintah. Ketika wajah tertutup, maka emosi pun juga tertutup. Namun begitu, siapa pula yang peduli? Mereka tetap bisa berinteraksi sesama dengan suara dan gerak-gerik tubuh.

Apa pun yang pemerintah wajibkan, rakyat harus tunduk tanpa boleh membantah, termasuk penggunaan topeng. Polisi dan kamera tersembunyi selalu mengintai jika ada yang tidak menggunakan topeng di luar rumah atau di tempat umum. Rakyat tak perlu mempertanyakan tujuan dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Lagi pula kebanyakan memang tak menghiraukan selain hidup tenang dengan mementingkan kepentingan sendiri. Intervensi berarti menantang maut.

Alfa berdiri di depan gerbang gedung Biro Pemberitaan Negara, sementara Dina lanjut berjalan ke gedung Biro Pengarsipan Negara. Mereka saling melambaikan tangan seolah mengingatkan bahwa ada pekerjaan yang harus digapai. Dipandangnya gerakan tubuh Dina yang berjalan dengan sungguh indah. Terkadang Alfa tidak tahu apa yang dikaguminya betul dari Dina. Yang jelas bagi Alfa topeng bukanlah penghalang perasaannya terhadap perempuan itu.

Baru beberapa menit mengambil tempat duduk, seorang pria paruh baya datang menghampiri. Dari balik topengnya, terdengar suara yang sedikit lantang.

“Berapa lama lagi berita-berita itu sanggup kau selesaikan? Kita masih punya segunung berita yang harus ditulis!” Pria itu berbicara tanpa jeda sedikit pun.

Belum sempat Alfa menjawab, pria itu melanjutkan. “Apa kau mau dihukum oleh Tuan Topeng Besi? Seumur hidupku, tak pernah biro ini terlambat menerbitkan berita, dan jangan sampai terjadi.”

“Hari ini pasti saya selesaikan, Pak. Saya butuh beberapa sumber lagi agar berita-berita yang saya tulis lebih kredibel,” jawab Alfa dengan nada yang sedikit bergetar.

“Sudah lupakah kau dengan prinsip Biro Pemberitaan Negara? Kita hanya perlu menerbitkan berita yang menyenangkan hati pemerintah. Kita harus membuat rakyat tetap percaya kepada pemerintah. Kita hidup untuk Tuan Topeng Besi. Apalagi yang mesti kaucari? Tulis saja dari informasi yang sudah kau dapatkan, sisanya tinggal dikarang.”

Alfa menunduk mengakui kesalahannya. Dia terkurung dalam amarah Pak Rolan tak ubahnya seperti binatang yang dihina karena tidak cakap mengikuti perintah padahal sudah diberi makanan.

“Baik, maafkan saya, Pak. Saya akan selesaikan sebelum jam makan siang.”

Tanpa berbicara lagi Pak Rolan meninggalkan Alfa dengan pikirannya yang kusut. Tak perlu melihat wajah di balik topengnya, Alfa sudah bisa membayangkan betapa geram hati Pak Rolan. Sungguh, kami semua memang hidup di bawah kuasa Tuan Topeng Besi. Lebih-lebih lagi para petinggi biro, seperti Pak Rolan, pasti bakal resah tak bertepi kalau sampai melakukan kesalahan.

Tak jarang Biro Pemberitaan Negara disuruh untuk menerbitkan berita secepat dan sebanyak mungkin. Apa pun yang dilakukan oleh pemerintah harus diberitakan dengan bagus. Selain menerbitkan berita, biro ini juga menerbitkan buku yang harus dibaca oleh anak sekolah. Semua sumber didapatkan dari Biro Pengarsipan Negara, tempat di mana Dina bekerja sebagai arsiparis. Terkadang Alfa ikut meminjam beberapa arsip dari sana, dan tentunya bertemu dengan Dina. Sedari masa sekolah dulu, Alfa diajarkan bahwa pemerintah adalah pelindung negara. New Santara adalah negara yang kuat, ditakuti oleh banyak negara, hingga ke sudut dunia. Dalam setiap peperangan New Santara selalu menjadi pemenang. Dan Tuan Topeng Besi adalah manusia perkasa yang mampu menyeimbangkan negara ini selama berpuluh-puluh tahun.

Lima berita telah diselesaikan oleh Alfa. Pak Rolan kembali untuk memeriksa pekerjaannya. Batin Alfa masih terasa segan mendengar suara lantang pagi tadi. Akan tetapi, perasaannya menjadi lebih lega ketika Pak Rolan berkata, “Silakan kirim ke penyunting sekarang.” Dengan demikian dia bisa mendapat jatah makan siang.

* * *

Ada kiranya satu tahun Alfa bekerja sebagai jurnalis di Biro Pemberitaan Negara. Dari awal mula bekerja dia selalu mengiyakan apa saja yang diperintahkan dan yang dilihat di depan mata, seperti anak burung yang hanya menunggu induknya memberi makanan, tak awas kalau elang menerkam. Tiada hal yang bisa ia lakukan lagi selain bekerja keras. Hidup sendirian di tengah kota memaksa jiwanya untuk berenang terus tanpa tujuan. Demikianlah seperti orang lain, dia tidak punya jalur sendiri yang lahir dari buah pemikirannya.

Pagi berjalan tak pernah berubah, hanya hujan lebat yang turun sebagai penghias suasana. Memandang ke arah jendela kaca yang lebar, mengamati gedung-gedung yang mencakar langit hitam yang sedang murung, setidaknya mampu mendinginkan kalbu yang bimbang.

“Tak perlu kau pikirkan kekesalan Pak Rolan kemarin,” ujar Boni. Pria yang duduk di samping Alfa itu kemudian meniru arah pandangnya, ikut menembus jendela.

“Hal seperti itu tidak pernah jadi masalah di otakku,” jawab Alfa dengan nada yang datar.

“Lalu, apa yang menyumbat hatimu hingga tak riang seperti biasa?” Boni bertanya tanpa memalingkan pandangannya.

Ingin Alfa bicara apa yang ia pikirkan, tetapi kata-kata itu tidak mungkin dikeluarkan. Alfa menoleh ke arah topeng Boni. Sungguh sering ia membayangkan warna pupil mata, lengkungan bibir, bentuk hidung, dan kerutan pada air muka orang-orang. Hanya saja semua pikiran itu sering ia bendung dengan keadaan damai yang merangkul negara ini dengan erat.

“Aku hanya menikmati pagi yang dingin ini. Tidak biasanya, bukan?” ucap Alfa setelah berkelahi barang beberapa detik dengan pikirannya.

“Memang sudah beberapa minggu hujan tidak turun. Kartavia tampaknya lebih mencintai terik matahari,” sahut Boni.

Tak lama kemudian, mereka menghadapkan sisi topeng ke arah monitor komputer masing-masing, menaruh jari jemari di atas keyboard, menenangkan syaraf, dan bersiap untuk menulis banyak berita sepanjang hari.

Ketika petang datang, saat itu pula seharusnya mereka kembali ke kandang sendiri. Tetapi lantaran pemerintah sedang banyak mengadakan agenda, mereka harus ligat mengurangi tumpukan pekerjaan, dan membuat rencana untuk wawancara esok hari. Semenjak rembulan menyapa malam yang terang, Alfa, Boni, dan beberapa rekannya masih terpaku pada layar. Mereka tidak pernah dibayar untuk kerja pada malam hari. Barangkali lembur hanyalah sekadar lambang loyalitas pekerja, menurut penguasa.

“Baiklah, semua sudah selesai. Saatnya pulang dan beristirahat dengan tenang,” harap Alfa.

“Sebentar, bahan wawancara sudah kau persiapkankah?” tanya Boni.

“Tentu. Mujurnya bagianku tidak terlalu banyak.”

“Sial. Esok giliranku yang ditumpuk banyak pekerjaan.”

“Suka tidak suka beginilah kalau mau mencari uang.”

Boni hanya bisa menghembuskan napasnya seraya menjerit dalam hati. Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Alfa segera meninggalkan Boni yang mungkin akan bertahan satu atau dua jam lagi, dan keluar dari gedung. Lagi-lagi, ketika dia melihat betapa riuhnya jalanan, kembali batinnya menanyakan seperti apa raut wajah orang-orang. Malam yang sungguh indah harus mewarnai manusia-manusia bertopeng yang berkeliaran.

Teringat bahwa persediaan makanan di apartemennya menipis, Alfa melangkah menuju sebuah minimarket. Diambilnya bahan-bahan pokok seperti beras, minyak goreng, gula, garam, telur ayam, dan tepung, serta berbagai camilan yang manis maupun gurih. Lalu, Alfa kembali meneruskan langkah ke arah jalan pulang.

Saat dirinya berjalan mendekati sebuah gang yang sempit dan gelap, sekonyong-konyong dia mendengar suara gaduh. Alfa melambatkan langkahnya sedikit demi sedikit, waspada dengan situasi sekitar. Setibanya di ujung gang, dia melihat ada dua orang pria yang sedang berkelahi. Dari pandangan yang samar-samar, terlihat seorang pria yang bertubuh besar dan tinggi sedang menghajar seorang pria yang tubuhnya jauh lebih kecil. Akibat dilindungi oleh topeng, si pria besar tak mampu menghajar wajah musuhnya. Namun begitu, dia tetap mampu menghajar ke arah perut dan dada. Si pria kecil tidak mau kalah, dia membalas dengan kepalan tinjunya yang kecil pula ke arah perut si pria besar. Mudah saja tinju itu ditangkis. Si pria besar sama sekali tak terlihat kesulitan. Dia menggenggam tangan si pria kecil, lalu melemparkan tubuhnya ke tanah. Si pria kecil meringis kesakitan, hingga rintihannya terdengar oleh Alfa. 

Si pria besar melangkah mendekati si pria kecil yang masih tergolek. Tanpa belas kasihan, dia menggenggam kerah baju musuhnya, mengangkat tubuhnya, dan menghempaskannya kembali ke tanah, kali ini dengan kekuatan yang lebih besar. Sebuah kejadian tak terduga terlintas di depan mata Alfa. Topeng si pria kecil terlepas. Dengan perasaan yang ganjil, si pria besar tiba-tiba melihat ke arah Alfa. Sadar akan kehadirannya, si pria besar lari meninggalkan musuhnya.

“Hei, jangan kabur! Tanggung jawab dengan perbuatanmu!” pekik Alfa dengan denyut nadi yang semakin kencang.

Alfa menghampiri si pria kecil yang masih menggeliat menahan rasa sakit. Wajah tanpa topeng itu seakan ditelanjangi oleh sinar bulan yang remang-remang. Sejenak Alfa terdiam, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sungguh amat jauh dari apa yang pernah Alfa bayangkan. Ternyata beginilah rupa seorang anak manusia di balik topengnya. Datar, kering, dingin, tak memiliki emosi dan ekspresi sama sekali. Walau meringis kesakitan, tetapi wajahnya tidak bisa mengungkapkan rasa sakit itu. Seringkali Alfa menyangka bilamana ia punya kesempatan melihat wajah orang-orang, pastilah rupanya riang dan penuh emosi. Namun, betapa ironis mengetahui bahwa lenyap sudah emosi dari makhluk satu spesiesnya. 

Entah apa yang mampir di pikiran Alfa, seketika alam bawah sadarnya memercik api kekecewaan. Berulang kali dia menolak kicauan yang terus singgah di otaknya. Jiwanya masih terpaut oleh kedamaian yang tercipta. Namun demikian, nuraninya terus memberontak seakan ingin membisikkan sebuah kenyataan. Kenyataan yang kiranya sungguh getir bagi setiap insan.

Hampir tidak Alfa sadari, si pria kecil mengambil topengnya, lalu terburu-buru memasangkannya kembali. Seolah tak acuh terhadap rasa sakit yang diterima, ia perlahan mencoba berdiri dengan kaki yang masih gemetar. Terhuyung-huyung ia berjalan menjauhi Alfa, melupakan keberadaannya. Mata Alfa masih menatap kosong, tak mampu menyingkirkan wajah si pria kecil dari ingatannya. Angin malam yang semakin dingin masih berpegang teguh memeluk sanubari Alfa. Tiba-tiba ia memutar kepalanya ke samping, melihat jalanan gang yang lengang, seolah tiada orang pernah berjalan di sana.

Selama di jalan menuju apartemennya, Alfa terus bertanya kepada diri sendiri. Apakah selama ini semua wajah orang memang tidak memiliki ekspresi sama sekali? Beginikah cara sebuah negara melenyapkan emosi penduduk? Mungkinkah karena emosi yang telah sirna ini rakyat jadi tunduk begitu saja kepada pemerintah, tanpa pernah melawan sedikit pun kendati sering ditindas? Tanpa disadari, dengan sangat keji negara ini membatasi interaksi tatap muka—sebuah kekuatan yang dapat menumbuhkan empati dan simpati sesama umat manusia. Mereka, sang penguasa, sungguh mengetahui bagaimana mengendalikan kekuatannya. Melenyapkan emosi berarti melenyapkan keberanian.

Ketika hendak memasuki apartemen, Alfa melirik pintu di seberangnya. Kembali pikiran lelaki itu dirasuki oleh tanda tanya yang semakin mencekik batinnya. Lantas, bagaimana dengan wajah perempuan yang selalu ditiliknya? Apakah Dina juga demikian?

* * *

Sore itu Alfa sedang tidak banyak pekerjaan, betapa beruntungnya dia bisa pulang tepat waktu. Wajahnya tersenyum, namun sayang tiada orang yang melihat. Sementara Boni masih sibuk menyusun hasil wawancara kemarin, dan mungkin wajahnya sedang murung, namun sayang tiada orang yang bersimpati.

“Jangan lupa besok giliranmu yang pusing menyusun bahan wawancara,” celetuk Boni.

“Aku lebih memilih untuk memikirkan bagaimana menghabiskan waktu di sore menjelang malam ini,” ucap Alfa dengan tawa kecil.

“Selamat bersenang-senang!”

“Barangkali hanya bisa satu hari ini saja aku dapat bersenang, setidaknya dalam bulan ini.”

“Begitu pun dengan kebanyakan orang di sini. Ketika waktu luang itu datang, segeralah jemput. Karena kita tidak tahu esok hari pekerjaan apa yang akan menghalau kebebasan kita.”

Sejenak Alfa meyakinkan dirinya, apakah betul Boni baru saja mengatakan tentang kebebasan? Baru pertama kali ini Alfa mendengar suara seseorang yang mengeluh. “Kebebasan terdengar seperti mitos ketika dirimu sudah mencelupkan badan ke dalam lautan darah kapitalisme.”

“Hei, bukankah itu terlalu keras?”

“Kalau begitu, bagaimana menurutmu?”

“Kita tidak bisa serta merta menyalahkan sistem yang mampu memajukan peradaban.”

“Apakah peradaban maju yang kau sebutkan itu bisa memastikan kesejahteraan semua kalangan masyarakat?”

Ada jeda waktu barang beberapa detik ketika Alfa melontarkan pertanyaan itu.

“Aku akui kau benar. Namun, lihatlah betapa berwarnanya kota ini,” jawab Boni.

“Kau pun juga benar. Namun, lihatlah jalanan, betapa macetnya kota ini karena setiap orang hanya mau mengendarai kendaraan pribadi. Hiruplah udara sekitarmu, betapa kotornya itu. Pergilah ke minimarket, betapa mahal harga satu kilogram beras. Amatilah manusia di lingkunganmu, betapa mereka hanya mementingkan diri sendiri. Dan pandanglah dompetmu, betapa sedikit gaji yang didapatkan dibanding dengan kerja keras kita.”

Kembali suasana kantor yang hanya tersisa beberapa orang menjadi sunyi karena Boni masih memikirkan jawabannya.

“Baiklah. Sampai bertemu besok!” sahut Alfa yang bergegas keluar dari kantor.

Alfa menunggu Dina di sebuah kedai teh yang tak jauh dari kantor. Satu gelas teh hijau telah tersaji di atas sebuah meja bundar kecil di hadapan Alfa. Lambat-lambat dia menyeruputnya, menikmati kehangatan antioksidan yang menyegarkan tubuh dan pikiran. Tak perlu lama menanti, Dina kemudian datang dan mengambil tempat duduk di seberang Alfa.

“Maaf, aku tidak bisa berlama-lama. Langsung saja, apa yang ingin kau tanyakan?” tanya Dina setelah mendapatkan teh yang dipesannya.

Sesaat lelaki itu tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun seolah ada yang mengunci tenggorokannya. Di satu sisi dia juga tidak mau melewatkan begitu saja waktu luang yang jarang diperoleh.

“Apa kau menyukai teh di kedai ini?” Tangan Alfa tergesa-gesa mencari gagang gelasnya.

“Tentu. Aroma teh di sini mengingatkanku pada teh buatan ibu. Meski peraciknya berbeda, tetapi rasa yang diciptakan punya kedekatan.” Dina memulai seruputannya yang pertama.

Suasana mendadak menjadi begitu hening seperti berdiri sendirian di tengah sabana tanpa ada segerombolan rusa yang mencari makanan.

“Alfa, katakan saja apa maumu? Kehidupan di kota tidak akan memberimu waktu dan tenaga yang berlimpah.” Perkataan Dina mengguncang perasaan Alfa layaknya macan yang tiba-tiba berlari untuk menerkam seekor rusa yang malang.

“Mari kita selesaikan kehangatan teh ini terlebih dahulu. Sungguh sayang kalau tidak dihabiskan.”

Lima belas menit telah berlalu tanpa ada percakapan sedikit pun. Mata mereka hanya mondar-mandir menengok interior kedai dan jalanan yang masih sangat padat. Sesekali Dina membuka catatan yang ada di smartphone-nya, memastikan pekerjaan untuk hari esok. Betapa terkurungnya semua manusia di sini dengan pekerjaannya, pekerjaan yang bahkan upahnya tidak sampai seperempat dari upah bosnya, belum lagi jika dibandingkan dengan para penguasa.

“Aku tidak bisa membicarakannya di sini. Bagaimana jika kita pergi ke bukit di pinggir kota?” tanya Alfa yang memecah keheningan.

Dina melirik sebentar ke arah jam tangannya. “Tidak masalah jika kau tidak mengulur waktu lagi.”

Bukit yang rimbun rumput dan pohonnya berdiri kokoh seakan mengawasi dinamika kehidupan sebuah kota di hadapannya. Alfa dan Dina meminjam kaki bukit untuk menjadi tempat bercerita. Topeng mereka menoleh ke arah yang berbeda. Alfa mengamati langit jingga yang sedikit lagi akan redup digantikan oleh cahaya putih bulan cembung. Sementara Dina menatap hingar-bingar kota sembari memeluk lututnya.

“Apakah kau pernah memikirkan seperti apa wajah orang-orang di balik topengnya?” Alfa memulai pertanyaan yang terus terjebak di dalam pikirannya, mengarahkan pandangannya ke topeng Dina.

“Seandainya aku tahu wajah mereka, apa untungnya bagiku?” Dina berbicara tanpa membalas tatapan topeng Alfa.

“Aku tidak akan menyalahkanmu bahwa manusia memang tak pernah mencari sesuatu selain keuntungan.”

Melihat Dina yang masih terdiam, Alfa melanjutkan, “Tetapi, tanpa melihat rupa bagaimana mungkin kita bisa memahami perasaan orang lain? Bukankah itu hal yang buruk ketika manusia tidak bisa mengerti satu sama lain?”

“Aku pikir perasaan adalah hal yang ganjil. Kau tidak akan pernah bisa memahaminya, sekalipun wajahmu ditempelkan ke wajah mereka. Begitulah sejatinya umat manusia. Kita hanya perlu memikirkan perasaan ke diri sendiri.” Dina kembali mengutarakan kata-kata saat sadar dengan matahari yang sebentar lagi akan memeluk ufuk barat.

“Lantas untuk apa manusia dilahirkan kalau akhirnya mereka hidup dan mati sendiri?”

“Kita semua hidup memang untuk diri sendiri … dan Tuan Topeng Besi.”

Alfa menahan kata-katanya sejenak dan menarik napas dalam-dalam. “Dina, sedikitpun aku tidak akan menyesali apa yang telah dan akan kulakukan.”

Alfa memegang sisi bawah topengnya. Menarik perlahan-lahan hingga dagunya mulai terlihat. Seketika Dina menoleh ke arah Alfa dan mencurigai tindakannya.

“Alfa! Apa yang kau lakukan?”

Tanpa menghiraukan suara Dina dan siulan dua ekor burung pipit yang akan kembali ke sarangnya, Alfa menarik topengnya hingga terlepas, kemudian terpampanglah roman yang selama ini disembunyikan.

“Lihat, Dina, beginilah bentuk wajahku! Setiap pagi aku selalu memastikan bahwa senyumku tak pernah luntur dan kehitaman pupil mataku tak pernah redup. Lalu, aku terus membayangkan bahwa semua wajah manusia tidak jauh berbeda denganku. Hingga akhirnya aku kecewa dengan harapanku sendiri.”

Udara sore yang mulai memeluk bukit telah menjadi saksi betapa terkejutnya Dina melihat perlakuan Alfa.

“Apakah sekarang kau sudah mengerti betapa besar emosi yang terlukiskan di wajahku ini? Aku hanya ingin kau melihat betapa tidak bisa diremehkan wajah seorang anak manusia. Tak peduli bagus atau buruk, terawat atau rusak, hitam atau putih rupanya, mereka memancarkan ekspresi yang memiliki makna dan warna yang sangat berarti. Dina, mungkin hanya kau yang bisa mengabulkan permintaanku,” kata Alfa dengan suara yang gemetar, “bolehkah sekali saja aku melihat wajahmu?”

Ucapan Alfa masih diproses oleh pikiran Dina. Perempuan itu masih terdiam melihat tangan Alfa yang bergelayut menggenggam topengnya sendiri. Tidakkah itu tindakan yang bodoh, pikir Dina.

“Lihatlah dirimu. Betapa menyedihkannya mengemis hanya untuk melihat wajah orang lain. Tetapi, baiklah, jangan salahkan jika aku mengecewakanmu,” gerutu Dina.

Akhirnya Dina mengabulkan permintaan Alfa yang sudah dilanda penasaran. Dina membuka topengnya dan menampilkan raut muka yang tidak asing bagi Alfa, padahal dia baru pertama kali melihatnya. Sungguh, perasaannya semakin ditumpuk oleh kekecewaan yang berat. Datar, dingin, pucat, tiada satu pun ekspresi melekat di roman perempuan itu. Bahkan Alfa tidak merasakan suatu emosi yang mencuat dari dalam diri Dina. Merana, oh betapa merananya lelaki itu. Matanya tidak sanggup memberikan satu pun tatapan, mulutnya tidak lagi berisi satu pun kata, badannya lunglai, dan lututnya roboh hingga terbentur menyentuh tanah. Pada akhirnya, ia tak sanggup menghadapi kenyataan itu.

Dina kembali mengenakan topengnya, tak mau ia berlama-lama memaparkan wajahnya kepada dunia. “Apa dirimu sekarang sudah puas?”

Cakrawala semakin kehilangan kekuatan cahaya, tanda dunia sudah berputar selama tiga perempat hari. Alfa masih terpaku dengan apa yang baru saja disaksikannya. Benak lelaki itu masih tidak ingin menerima realitas yang menyesakkan jiwa.

Dina merogoh kantong jaketnya. Hal itu sama sekali tak disadari oleh Alfa. Perempuan itu meraih sebuah spuit. Terlihat cairan di dalamnya berwarna kuning kecokelatan. Ujung jarumnya masih segar seakan tak tahan ingin segera masuk ke dalam kulit mangsanya.

“Maafkan aku, Alfa.” Terdengar suara yang lirih dari balik topeng Dina. Meskipun hatinya bergolak, akan tetapi dia tidak boleh ragu. Dina menusukkan jarum itu ke leher Alfa yang masih termenung menatap ke bilik kehampaan, hingga tak lama berselang hilang sudah jiwa dan harapan dari seorang lelaki yang hanya ingin melihat tawa dari wajah orang lain. Dina langsung bergegas menghubungi polisi.

* * *

Cahaya dari timur mulai memberikan kekuatannya ke Bumi, melewati atmosfer yang membatasinya, hingga jatuh di sisi jendela apartemen Alfa. Seolah mengarungi mimpi yang panjang, dia terbangun di atas ranjang yang tidak begitu empuk. Bola matanya meraba hawa ruangan yang cukup sejuk merangkul tubuh hangatnya. Dia mencoba duduk pelan-pelan untuk menyambut sinar yang sudah menunggu untuk masuk. Alam bawah sadarnya mendesis lembut, seperti ular sawah yang sedang mengamati seekor tikus, dan sanubarinya merasakan sesuatu yang janggal. Akan tetapi, sedikitpun dia tak mampu memanggil kembali memori dan emosi yang pernah tersimpan di serebrumnya. Dan Alfa merasa kehidupan berjalan baik-baik saja.

Dia berdiri, menyingkirkan semua untaian yang terikat di kepalanya, lalu berjalan ke depan cermin. Muka yang sedikit pucat tidak mengganggu batinnya dan rasa tawar yang terukir di raut wajahnya tidak menjadi beban yang berarti. Tak perlulah dia banyak merenung karena dia sama sekali tidak merasakan perubahan apa pun baik di roman, badan, atau rohnya. Ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan, melayani Tuan Topeng Besi dan New Santara-nya.

Saat hendak keluar dari apartemen, seorang perempuan berdiri tepat di depan Alfa. Kemeja putih yang begitu bersih seperti sinar bulan purnama membuat anggun perempuan itu. Tanpa kembimbangan, Alfa menyapa perempuan itu dengan senyuman yang tersembunyi di balik topengnya.

“Sungguh pagi yang damai dan cerah, ya, Dina.”

Tinggalkan komentar