Tanah yang menjadi tempat bertapak, berkehidupan, dan bermasyarakat selama roh masih terkandung dalam tubuh seorang insan tak urung memiliki jati diri dan nyawa tersendiri. Jiwa yang dimuatnya tertaut abadi di sana mulailah dari lahir, tumbuh sebagai remaja awam, berdiri sebagai dewasa tangguh, hingga kembali lagi ke pemunculan asalnya. Apa jadinya ketika jati diri tanah itu terubrak-abrik oleh penguasa yang tidak tahu jelasnya duduk perkara, merasa langkahnya sudah begitu nasionalis? Jejak yang dulunya meninggalkan bekas di tanah itu, yang melahirkan banyak ingatan, kini sudah dibumihanguskan demi membumikan jati diri yang baru. Seolah-olah nyawanya yang usang dihidupkan kembali dengan nyawa yang baru—entah dipaksakan atau hidup dengan sendirinya.
Suatu ketika seorang naturalis asal Prancis, sebuah negeri dengan kemajuan luar biasa kala itu yang suaranya masih begitu menggema dan darahnya masih meluap-luap akibat revolusi yang bakal mengubah cara pandang dunia, mencatatkan deskripsi dan menggambarkan ilustrasi bagaimana rupanya sebuah genus tumbuhan yang pernah ditemukannya di Pulau Jawa. Dia bernama Louis Auguste Deschamps. Perjalanan demi menemukan genus itu tentu dikawal ramai oleh pasang surut keadaan yang mencengkram dirinya. Pada awalnya dia sempat ditangkap oleh Gubernemen. Lalu, Pieter Gerardus van Overstraten, Gubernur Jenderal Hindia saat itu tidak menahannya melainkan memintanya untuk menelusuri seisi serta bermacam flora Pulau Jawa selama tiga tahun lamanya, dari 1791 hingga 1794. Semenjak saat itu, dia semakin giat menjejakkan kakinya ke pedalaman. Waktu demi waktu menjelajah, hingga tiga tahun kemudian terjadilah pertemuan dengan bunga raksasa dengan hanya kelopak tanpa seujung jari pun batang, daun, dan akar. Sungguh takjub betul Deschamps dengan bunga itu. Maka mulailah dia menulis perihal apa saja yang sudah ditemukan.
Namun, karena nasib memukulnya begitu keras dan raungan perang antara Prancis dan Inggris semakin menggelegar, dia ditangkap oleh Inggris dalam perjalanan pulang ke negeri asalnya disaat dia sedang mengimpikan karyanya itu bakal dirayakan satu dunia. Lenyaplah sudah semua tinta yang pernah dia goreskan barang beberapa ribu kali. Tinta yang mampu mengungkapkan setumpuk ilmu dan pengetahuan baru, termasuk tentang bunga raksasa yang berbau seperti bangkai itu. Tumpas sudah tulisan itu dari muka bumi akibat situasi yang berkecamuk, yang memuntahkan semua kemurkaan. Dunia seakan-akan tak pernah mengenal jejak langkah penelitian Deschamps tentang bunga itu, tak acuh bahwa naturalis itu pulang hampir membawa kontribusi besar bagi peradabannya. Genus yang ditemukannya sungguhlah unik daripada yang pernah ditemukan dan dipelajari sebelumnya. Bahkan hampir-hampir tidak pernah ditemukan oleh manusia mana pun. Kalaupun pernah pasti mereka tidak terdidik seperti Deschamps.
Sewaktu para pesaingnya yang berasal dari Inggris terkagum dengan penemuan Deschamps, demikian timbul rasa panas di hati mereka, tidak rela jika penemuan yang menggetarkan hati itu tercatat atas nama orang Prancis. Tidak seorang pun boleh mengumumkannya, kecuali bangsa Inggris itu sendiri. Betapa kemaruknya hati mereka demi membuktikan siapa bangsa yang paling maju di peradaban. Mereka, tiada suatu kontribusi apa pun, tiada pencarian apa pun, bekal yang Deschamps bawa dari Hindia dirampas sekehendak hati, mereka makan sampai habis hingga tiada satu pun tersisa tak luput juga nama pemiliknya. Gejolak politik dan ketamakan membuat nama Deschamps hilang sehilang-hilangnya dari sebuah tulisan yang dia bangun melalui peluh harapan.
Sekiranya 20 tahun kemudian, ada seorang naturalis lagi, kali ini berkebangsaan Inggris, yang mengikuti jejak langkah Deschamps. Joseph Arnold, melintasi pedalaman sebuah daerah yang terletak di pesisir barat Bengkulu bagian selatan, Manna, sampai tibalah bunga raksasa itu menyapanya dengan kelopak yang bermekar lebar, memiliki lima sisi, berwarna merah gelap, bagian tengahnya memiliki tonjolan-tonjolan seperti batang jamur, dan meluapkan bau yang begitu menyengat. Tak kalah takjub dari Deschamps sesaat menemukan genus yang sama, matanya terbelalak memancarkan barangkali cahaya berwarna biru atau abu-abu yang tidak bisa menahan ketenangannya. Tak pernahlah dia tahu seumur hidupnya ada naturalis dari bangsa yang menjadi musuh bagi bangsanya sendiri pernah mengalami hal serupa. Kekuatan pada hati Arnold mengungkapkan betapa terjerat pandangannya saat itu, sama sekali persis seperti yang dituangkannya di sebuah surat pada salah seorang temannya.
Here I rejoice to tell you what I consider as the greatest prodigy of the vegetable world… to tell you the truth, had I should, I think I have been fearful of mentioning the dimensions of this flower, so much does it exceed every flower I have ever seen or heard of… now for the dimensions which are the most astonishing part of the flower. It measures a full yard across….

Sungguh sangat disayangkan setelah penemuan itu Arnold terserang malaria dan meninggal dalam pengembaraannya. Kala itu Stamford Raffles yang menduduki tahta Gubernur Jenderal Bengkulu menugaskan seorang ahli botani yang menjadi suksesor Arnold, bernama William Jack, untuk menyusun penulisan dan pengumpulan spesimen bunga itu untuk dipublikasikan pada sejagat. Mula-mula spesies bunga yang ditemukan oleh Arnold itu diberi nama Rafflesia titan oleh Jack. Rampung sudah tulisan itu, dan akhirnya dikirim ke London.
Namun, naasnya hasil kerja Jack tak kunjung diterbitkan. Seolah-olah lingkaran kelicikan politik selalu berputar tanpa henti, begitu pula yang bakal terjadi dengan proses publikasi perihal bunga itu. Tiba-tiba salah seorang ahli botani bernama Robert Brown mengumumkan sebuah hasil penemuan spesies baru yang dia namakan Rafflesia arnoldii. Tak tahulah dari mana dia mendapatkan deskripsi spesies itu. Boleh jadi diambilnya dari tulisan dan spesimen yang pernah dikirim oleh Jack. Nama Rafflesia arnoldii dimaksudkan untuk menghormati Stamford Raffles sekaligus mengenang jasa Joseph Arnold. Nama yang dibawa oleh Jack tak terpakai dan malah dianggap sebagai sinonim dari Rafflesia arnoldii. Walaupun sekadar nama, gagasan yang pertama kali muncul semestinya tak dapat tak diindahkan, lebih-lebih nama orang yang membawanya. Tuntas sudah niat bangsa Inggris untuk mengumumkan kepada seluruh dunia mengenai genus yang seharusnya disuarakan oleh bangsa Prancis. Betapa ironis manusia kerap kali saling berebut kebesaran namanya sendiri.
Begitulah nama Rafflesia hadir penuh dengan intrik, kemarukan, dan politik. Meski begitu, biarlah nama itu menggema demi mengatasnamakan sebuah genus yang sedari lahir sudah punya jati diri tersendiri.
Kini nama dan bentuknya telah abadi sebagai primadona bagi flora di Indonesia. Sampai-sampai menjadi simbol untuk lembaga atau institusi yang berhubungan dengan flora, seperti Taman Nasional Kerinci Seblat, Yayasan Kebun Raya Indonesia, dan Flora Malesiana. Selain itu, tak urung pada beberapa merek usaha pun terpampang harumnya nama bunga itu, seperti Rafflesia Coffee, PO. Putra Rafflesia, dan PT. Indah Alam Rafflesia. Hingga klub sepak bola profesional asal Bengkulu yang baru saja menjuarai Liga 4 musim ini pun bernama Tri Brata Rafflesia F.C. Lihatlah, betapa begitu ikoniknya nama dan bentuk dari Rafflesia.
Bumi Rafflesia sudah teramat melekat sebagai jati diri dan nyawa Provinsi Bengkulu. Tak hanya itu, dia pun sudah terikat sampai mati di sanubari masyarakatnya. Ke mana saja mereka pergi, identitas itu akan terus tertancap selama kehidupan di tanahnya terus bergulir. Barangkali tak pernah terbayang dalam benak mereka suatu saat Bumi Rafflesia yang selalu menjadi primadona bakal dibumihanguskan, dicabut dari akar sampai kelopak, hingga tak tersisa satu pun lagi baunya, demi membumikan nama yang tiada memikat, Bumi Merah Putih.
Merah Putih ialah simbol bagi negara ini. Tidak seharusnya dia berdiri sebagai nama julukan untuk sebuah provinsi. Dia harus mewakili seluruh bangsa ini, tidak hanya satu bangsa. Memang sang saka merah putih lahir dari jahitan tulus seorang putri asli Bengkulu, Ibu Fatmawati Soekarno. Semua orang tahu dan sangat menghormati sejarah itu. Tidak ada salahnya memang jika kita mengingat kalau bendera yang berkibar di depan rumah Soekarno pada pukul 10 pagi, hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945 berasal dari Bengkulu. Namun, alasan itu tidak serta merta mampu mendepak Bumi Rafflesia begitu saja untuk digantikan oleh Bumi Merah Putih.
Selain itu, hal yang menjadi landasan mereka juga adalah Rafflesia lahir dari nama penjajah. Tidakkah yang mereka sebut penjajah itulah yang berkontribusi dalam penelitian dan mengumumkan kepada dunia seperti apa rupanya bunga itu sehingga dunia tahu asal daerahnya? Sampai sekarang dunia masih berusaha menggali tentangnya lebih dalam hingga menjaga genus yang sudah mulai punah itu dengan sepenuh hati. Perhatikanlah negara tetangga kita, Malaysia dan Filipina, mereka begitu aktif dan maju dalam penelitian dan konservasi Rafflesia. Sedang kita masih berdiri hanya memandangi mereka yang saban hari melaju tanpa henti.
Penggunaan nama Rafflesia mereka sebut juga sebagai tindakan tidak nasionalis. Sebetulnya, apa yang mereka maksud dengan nasionalisme itu? Nasionalisme bukan sekadar simbolis, akan tetapi tertanam dari lahir sampai mati dengan kesungguhan yang luar biasa demi memajukan bangsa. Apalah arti jika nasionalisme hanya sebatas diucapkan dan disimbolkan, tanpa ada gerakan yang sanggup membuktikannya? Lebih-lebih lagi, tidakkah Bengkulu bakal kehilangan identitas jika hanya mengandalkan nama Merah Putih yang merupakan identitas umum bangsa kita? Patutlah kita khawatir jika provinsi ini nanti tidak ada lagi keunikannya.
Sungguh alasan yang rapuh.
Jika memang para penguasa itu ingin sekali menekan kemauan mereka, biarlah nama Bumi Merah Putih itu menjadi sinonim dari Bumi Rafflesia. Nama itu bisa hidup berdampingan sebagai jati diri yang saling melengkapi. Tak perlu salah satunya dilebur. Beberapa daerah sudah melakukan hal serupa. DI Yogyakarta adalah salah satu contoh daerah yang punya banyak julukan, Kota Pelajar, Kota Gudeg, Kota Budaya, dan Kota Perjuangan.
Alih-alih mengganti nama julukan, tidakkah bumi Bengkulu ini tergerak hatinya untuk menjadi primadona bagi bangsa Indonesia bahkan seluruh dunia sebagaimana harumnya nama Rafflesia? Sungguh suatu keprihatinan melihat para penguasa mengurusi hal yang dia sendiri barangkali tidak tahu duduk perkaranya. Tiada urgensi dalam perubahan nama julukan itu. Tiada penting bagi mereka untuk membumihanguskannya. Rugilah para penguasa itu yang telah melenyapkannya tanpa peduli restu dari masyarakat yang setiap hari hidup pontang-panting membawa identitas yang akan abadi di nurani mereka.
Daftar Pustaka
[1] Susatya, Agus. (2011). Rafflesia Pesona Bunga Terbesar di Dunia. Jakarta: Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung.