Bulan sabit kelima setahun yang lalu merupakan bulan yang penuh harap bagi semua penggemar musik dan melodi dari sebuah grup yang digagas dua puluh lima tahun silam di Huntington Beach, California. Lima orang yang pandai menyalurkan nada harmonis berpadu dengan energi yang keras sudah dinanti-nanti oleh berpuluh ribu raga. Tak lama lagi, grup itu akan menyelenggarakan sebuah panggung yang telah lama absen—kiranya sepuluh tahun—di sebuah kota yang berada di pesisir barat laut pulau terpadat di Indonesia. Semua mata memandang erat ke arah kantong masing-masing, berharap bisa mengumpulkan biaya dan tenaga demi meraup energi dari panggung sang melodi.
Avenged Sevenfold, band yang pada masa itu sangat digemari oleh banyak kalangan—hingga masa kini. Lebih-lebih lagi para remaja yang suka nongkrong di warnet sembari mendengarkan lagu yang bertajuk Dear God. Masa SMP dipenuhi dengan remaja yang ingin sekali menirukan gaya permainan gitar Synyster Gates—aku pun juga begitu—atau Zacky Vengeance. Tak jarang juga ada mereka yang terpukau dengan gaya rambut mohawk milik Johnny Christ. Beberapa ada pula yang berlatih musik sekuat tenaga karena mendengar dentuman drum yang rumit dari The Rev. Dan mesti semuanya sangat kagum dengan nada vokal M. Shadows yang khas, keras, dan melodis. Sungguh, aku bisa bertaruh kalau kebanyakan remaja di masa itu tidak ada yang tidak terinspirasi bermain musik karena band itu.
Suatu ketika, tiga bulan sebelum panggung itu dimeriahkan, media sosial dihebohkan oleh videotron yang menampilkan video dengan unsur kelelawar, gaya tulisan khas Avenged Sevenfold, dan latar belakang berwarna krem persis dengan warna tema di album terbaru mereka, Life Is But a Dream…. Benar saja, kira-kira seminggu setelahnya band itu membikin gegap gempita penggemar di tanah air ini dengan mengabarkan kalau mereka akan kembali bertegur sapa dengan penggemarnya yang tiada bosan menunggu. Sempat berpikir tidak sampai sepuluh kali, berhargakah bagi hidupku jika aku ikut memeriahkan panggung mereka yang sewaktu masih SMP hanya bisa aku rasakan gemanya lewat YouTube?
Siang itu, penjualan tiket pun dibuka. Dari pagi aku sudah bersikukuh untuk ikut menyaksikan penampilan band itu tiga bulan mendatang. Tiket-tiket tersebut tidak cepat terjual seperti penyanyi atau grup musik lain, layaknya angin laju yang menerpa daun-daun di musim gugur. Hingga akhirnya aku mendapatkan secarik tiket untuk masuk ke panggung yang akan disemarakkan di Stadion Madya Gelora Bung Karno. Tempat yang aku pilih agak jauh dari tempat berpijak band itu akan menghentakkan kakinya. Pikirku tak terlalu jadi masalah. Ada perasaan senang, ada juga perasaan penasaran. Bakal seperti apa rupanya pertunjukkan itu?
* * *
Mendung menyambar dari pagi. Aku temukan sedikit rintik hujan siang harinya. Beruntung tak berlangsung lama. Sampai di lokasi, aku melihat banyak sekali orang yang pada saat itu bisa aku resapi satu getaran yang sama, menunggu pertunjukkan piawai yang sebentar lagi akan disajikan oleh idola mereka. Tak urung animo yang meluap di stadion itu sanggup menutupi langit yang tiada cerah seolah-olah tertutup oleh kandang tak kasat mata, yang mengurung tiap raga di dalamnya dengan gairah dan kekuatan yang sama. Tak peduli siapa pun orangnya, dari mana hulunya, di mana kerjanya, berapa gajinya, suku dan agamanya, mereka hanya ingin merayakan penantian yang sudah lama.
Ini adalah kali pertamanya aku datang ke pertunjukkan besar sebuah band internasional.

Gerbang masuk belum terlalu ramai, mudah saja aku lolos ke dalam melalui pemeriksaan yang sebentar. Petugas memperingatkan jika sudah masuk, tidak ada yang boleh keluar gerbang. Semua aktivitas hanya diperbolehkan di dalam, entah itu makan, minum, membeli merchandise, atau buang hajat. Semuanya telah dilengkapi. Sudah banyak pula manusia yang berkeliaran di dalam dengan berbagai kegiatan seakan mereka hanya membuang waktu terlebih dahulu pada hidangan pelengkap menunggu hidangan utama.

Terasa hari sudah semakin sore, agaknya aku terlalu cepat datang hingga membuat sedikit bosan menunggu. Tepat pada pukul lima, acara mulai berlangsung. Hidangan pembuka pertama disajikan oleh band lokal kita, yang aku yakin sudah banyak orang tahu bahkan mengenal cukup dalam, Killing Me Inside dengan embel-embel Re:Union di belakangnya. Memang aku tidak begitu mengenal band ini, akan tetapi aku cukup menikmati sajian dari mereka. Musik yang cadas mulai memacu otot dan pikiran. Tidak salah mereka masuk menjadi hidangan pembuka.
Ada jeda satu jam untuk menyantap hidangan pembuka kedua, kali ini aku juga tidak mengenalnya, The Used. Tampaknya band ini legendaris. Dan betul saja, aku lihat tak sedikit orang yang ikut bernyanyi dan melompat diiringi lagu-lagu cadas mereka. Begitupun denganku, hidangan pembuka kedua ini juga pantas untuk dinikmati. Layak dijadikan pemanasan sebelum masuk ke hidangan utama. Jantung yang semakin menyentak sedang memikirkan akan semeriah apa nantinya. Malam tidak menjadi gelap karena diterangi beribu-ribu cahaya.
Sekitar pukul setengah sembilan, hidangan utama menginjakkan kakinya ke panggung yang sudah lama diimpikan puluhan ribu manusia yang hadir. Mata yang tak bisa berhenti memandang takjub pada kehadirannya.
Lagu pertama, Game Over.
Terdengar petikan gitar akustik yang menjadi intro lagu tersebut. M. Shadows menggunakan topeng kain hitam yang menutup seluruh kepalanya, hanya tersisa mata, hidung, dan mulut. Duduk di kursi kecil seperti seorang pencuri yang pasrah akan nasibnya. Itulah konsep pembuka pada setiap tur album terbaru mereka saat ini. Tak lama kemudian, Synyster Gates dan Zacky Vengeance mulai menyuarakan gitar dengan distorsi yang menghentak penuh emosi. Bersamaan dengan itu Johnny Christ memainkan bass-nya dan diiringi ketukan drum Brooks Wackerman. Sontak semua yang hadir langsung melompat untuk meraup seluruh energi itu.
Aku menikmati setiap lagu yang dipertunjukkan. Termasuk lagu-lagu dari album terbarunya. Mungkin sebagian orang tidak mengikuti lagi perkembangan band ini dari album The Stage, sehingga hanya bernyanyi mengikuti lagu-lagu yang pernah hit pada zamannya. Baik penggemar lama atau penggemar baru, entah hanya menyelami lagu-lagu yang lama atau lagu-lagu baru juga, tidak semestinya menjadi masalah.
Ada beberapa lagu yang rasanya istimewa malam itu. Almost Easy, Seize the Day, Gunslinger, dan lagu mereka yang paling populer di Indonesia—terselip dalam ucapan M. Shadows di sebuah wawancara—Dear God. Keempat lagu itu dibawakan lagi setelah sekian lama tidak dipertontonkan—barangkali sudah delapan hingga enam belas tahun. Luar biasa memiliki kesempatan untuk melihat mereka memainkan lagu-lagu itu.
Ada satu lagu yang sebenarnya ingin aku lihat, Blinded in Chains. Mereka mulai membawakan lagu itu kembali di beberapa pertunjukkan sebelumnya. Sayang sekali lagu itu tidak dibawakan di Jakarta. Mungkin keempat lagu ikonik tersebut yang menjadi bayarannya. Padahal jika mereka sempat memainkannya, aku amat yakin penampilannya pastilah memukau—melihat dari video yang berseliweran di YouTube.
Waktu seakan berhenti saat menghadapi berbagai suguhan yang sangat megah. Hingga hampir dua jam pertunjukkan itu berlangsung, energi tiap orang yang hadir agaknya masih tersisa. Masih aku resapi gairah dan kekuatan siang tadi. Dan semua yang terkurung dalam imajinasi itu masih menginginkan beberapa suguhan lagi.
Lagu kelima belas, Cosmic.
Bisa dikatakan ini adalah lagu yang paling aku nantikan di antara semua lagu yang ditampilkan dari awal. Nada yang terkandung dan lirik yang magis menuliskan memori yang seakan membawa pendengarnya terbang tinggi ke luar angkasa. Jauh dari semua yang didekatnya hingga ke galaksi yang tak terhingga jaraknya. Bagaikan jiwa yang melayang menjelajahi kosmos, hingga melebur dan menyatu bersamanya. Berharap agar ikatan dengan orang terdekatnya tidak bisa dipisahkan, baik oleh ruang maupun waktu, kehidupan maupun kematian. Begitulah kira-kira makna dari lagu tersebut.
Tidak hanya materi lagunya saja yang epik, penampilannya di atas panggung juga sungguh membuat diriku menyusuri tepi galaksi yang luas ini. Lampu-lampu yang ditembakkan mengarah ke langit malam, visualisasi di latar belakang panggung seperti supernova yang menggumpal, dan musik yang begitu saja mengalir di hati sudah tuntas melengkapi hari yang akan dikenang selamanya. Pengalaman yang barangkali hanya bisa dirasakan sekali seumur hidup. Aku betul-betul menyukai bagian akhir lagu tersebut, nada dan juga liriknya yang sangat puitis.
Dancing in the wind as roses born again
There, you’ll find me
Before the dawn of man, in castles made of sand
There, you’ll find me
…
Lagu penutup, A Little Piece of Heaven.
Tak perlu diberi aba-aba untuk mengambil tambahan tenaga, semua orang masih berdiri dan bersiap bernyanyi dan melompat bersama dan berteriak. Semua kekuatan yang tersisa dihempaskan begitu saja demi menikmati lagu penutup tersebut. Lebih-lebih lagi di bagian chorus-nya.
‘Cause I really always knew that my little crime
Would be cold, that’s why I got a heater for your thighs
And I know, I know it’s not your time
But bye, bye
…
Malam yang sangat menyenangkan untuk semua penggemar, tak peduli yang hadir ataupun yang belum sempat. Mereka semua sedang berbahagia merayakan kedatangan sang melodi. Bulan sabit yang sedang mengorbit pun tersenyum melalui bentuknya, bersinar menghampiri beribu cahaya dari sang planet. Tawa, teriakan, dan haru menggelegar di stadion dengan sungguh, sungguh meriah. Telah aku catatkan bahwa malam itu adalah malam yang tak akan pernah dilupakan oleh mereka semua, termasuk diriku.

Aku yakin pastilah ada asa yang mereka lekatkan di dalam batin. “Sampai jumpa di kemudian hari, jika kita punya kesempatan lagi, saling menghampiri membawa energi yang bakalnya abadi melalui relung hati.”