Melambat: Kemewahan di Derasnya Arus Kehidupan

Dulu aku berpikir bahwa kecepatan adalah apa yang dibutuhkan oleh umat manusia sekarang. Tak ubahnya pesawat jet yang melesat dengan sangat cepat, demikian pula arus kehidupan yang diimpikan oleh kita semua. Melaju mengelilingi setiap sudut planet bumi, menjelajahi berbagai warta, dan bertukar informasi dengan lega tentu memerlukan laju kecepatan cahaya. Sekarang tak hanya sepersekian detik, namun sepersekian milidetik bisikan kabar mampu dibawa oleh untaian kabel yang terlentang di hampir seluruh wajah planet ini, melewati laut dan daratan yang begitu luas. Sungguh kemewahan yang didambakan bukan? Kendati demikian, dewasa ini aku menyadari bahwa ada yang lebih mewah daripada kecepatan.

Berbondong-bondong semua orang ingin mendorong dirinya dengan kecepatan penuh seperti astronot yang mengidamkan pesawat luar angkasa berkecepatan cahaya untuk melintasi luasnya kosmos. Tak dipungkiri bahwa hal itu terjadi karena semakin hari dunia semakin erat dalam genggaman kuasa yang menuntut seorang anak manusia bergerak dengan cepat dan terburu-buru—layaknya tikus yang acap kali masuk dan berpindah gorong-gorong sempit yang gelap dan mencekam. Betapa mendesaknya kehidupan yang berjalan di atas planet biru pucat ini—setiap hari. Barangkali tidak ada seorang insan pun yang sudi dirinya diperlakukan seperti itu.

Kapitalisme memang sangat berpengaruh terhadap kemajuan peradaban. Tanpanya, mungkin kita tidak bisa menemukan berbagai teknologi canggih. Seakan-akan seperti aliran sungai yang tak terbendung, evolusi peradaban manusia mengalir dengan sangat hebat. Di sisi lain, akibat kapitalisme pula peradaban sekarang memaksa manusia berputar di sebuah sistem yang tak berujung seolah-olah dipecut dengan tali tak terlihat dan dikekang oleh rantai yang semakin berkarat. Menggerogoti seluruh raga yang kian berteriak menginginkan kebebasan.

Distraksi sudah menjadi hal yang lumrah dalam keseharian. Tiap kali ingin melakukan suatu pekerjaan, entah dari mana datangnya, selalu saja ada hal lain yang mengganggu. Gangguan yang sepertinya muncul akibat derasnya arus informasi yang mengalir hingga sampai ke genggaman semua orang. Informasi yang pada hakikatnya kadangkala tidak begitu penting. Mata yang awalnya memandang elok ke satu hal, langsung teralihkan sekejap mata ketika gawai yang digenggam memberikan runtutan notifikasi.

Di setiap sisi kota, hampir semua orang sudah terkontaminasi oleh konten media sosial yang memengaruhi berubahnya budaya dan perilaku kita dalam memandang kehidupan. Semua orang jadi memiliki hasrat yang tak tertahankan untuk memamerkan seluruh bentuk kehidupannya. Kendaraan mewah, gawai canggih, liburan ke luar kota dan ke luar negeri, pakaian bagus, kemesraan bersama pasangan, bentuk tubuh ideal, dan masih banyak lagi—yang aku sendiri mungkin tidak tahu. Di samping itu, video-video pendek yang semakin meracuni otak lama kelamaan juga dapat merenggut kemampuan manusia yang paling kuat—aku menyebutnya sebagai superpower di era sekarang—bernama fokus. Ketika kemampuan itu direnggut, semua distraksi yang meluap akan menjadi sajian sehari-hari. Sungguh sangatlah disayangkan.

Mengingat semua itu, tak heran jika kita sekarang sulit sekali memiliki waktu untuk berfokus ke satu hal dalam waktu yang lama. Contoh gampangnya ketika kita sedang belajar, perhatian kita berat sekali ditujukan hanya untuk memahami satu topik pembelajaran. Tidak sampai 5 menit, perhatian kita langsung berpindah ke gawai. Hingga akhirnya belajar pun tak jadi, menonton video pendek semakin menjadi-jadi. Mari kita beralih ke contoh yang lebih dekat dan tidak banyak orang sadari. Pernahkah berpikir mengapa penonton video panjang di YouTube semakin sepi, di sisi lain video pendek di TikTok semakin ramai? Bukan karena konten di YouTube sekarang tidak ada yang menarik dan TikTok lebih banyak variasi. Jawabannya sederhana, video pendek benar-benar mengurangi rentang perhatian kita. Sehingga, ketika menonton video panjang, alih-alih fokus menontonnya, kita malah tidak betah karena durasinya yang panjang. Kebanyakan orang sudah terbiasa dengan hal-hal instan yang bisa didapatkan hanya dengan sekali teguk. Lihatlah bagaimana digdayanya media sosial sekarang merenggut fokus kita.

Lalu, ada satu lagi hal yang seperti tergerus oleh zaman, buku. Tidakkah kita sadari bahwa semakin lama orang-orang semakin tidak begitu suka membaca buku. Pastinya masih ada, tetapi tidak sebanyak orang-orang yang gemar menatap layar gawai. Minat membaca kian hari kian merosot, sementara minat bergelut di media sosial kian meroket. Padahal, membaca adalah salah satu bentuk untuk mendapatkan kembali superpower itu. Fokus merupakan kunci dalam membaca buku. Semakin kita sering membaca, perlahan-lahan otak kita akan semakin terlatih untuk berfokus.

Aku merasakan kalau menulis juga sama halnya dengan membaca. Sama-sama membutuhkan fokus untuk waktu yang lama. Dengan menulis juga, kita bisa mengungkapkan semua isi hati tanpa perlu repot-repot berbicara ke orang lain yang belum tentu mau mendengarnya, bahkan tak acuh. Sehingga menulis bisa menjadi sarana dalam mengenal emosional diri sendiri. Lebih daripada itu, menulis bisa melatih kemampuan kita dalam berpikir, mirip sekali dengan membaca. Membaca dan menulis adalah kemampuan dasar seorang manusia yang seharusnya diasah seumur hidup.

Sebenarnya tidak hanya membaca dan menulis, semua kegiatan yang membutuhkan fokus untuk waktu yang lama bisa menjadi bentuk latihan dalam meraih kembali superpower kita yang dikhawatirkan akan semakin memudar. Contohnya seperti menyusun puzzle, merakit mainan, berolahraga, bermain alat musik, menari, melukis, atau sekadar bersantai di taman melihat gerak-gerik lingkungan tanpa diganggu oleh gawai. Sederhana bukan? Sayangnya, tidak semua orang menyadari hal itu. 

Akan tetapi, kalaupun kita menyadarinya, apakah mungkin kita sanggup meluangkan waktu untuk melakukan hal itu? Berkaca dari ricuhnya kehidupan, jika kita sudah masuk ke dalam sistem yang tak henti-hentinya berputar itu, mungkin akan terasa sedikit berat untuk melakukannya. Meski begitu, waktu tetap bisa diluangkan, walaupun sulit dan sedikit.

Keadaan ini diperparah dengan suasana yang semakin bergemuruh. Apalagi untuk orang-orang yang tinggal di daerah padat penduduk. Semuanya tergopoh-gopoh, tidak sabaran, dan ingin menang sendiri. Aku mengerti. Dan aku bisa merasakannya. Karena aku sekarang tengah berada di antara mereka. Namun, apa boleh dikatakan, semuanya berjalan seperti itu dari waktu ke waktu. Dari generasi ke generasi. Dari rezim ke rezim. Dari penguasa hingga rakyat kecil tidak ada yang tidak mau bergerak cepat. Terdengar seperti semua orang suka dengan makanan siap saji.

Kehidupan berjalan begitu cepat, hingga tak ada lagi waktu untuk menikmatinya. Melambat … merupakan sebuah kemewahan di derasnya arus kehidupan. Menjalani hari-hari dengan lambat, santai, tenang, dan sunyi adalah suatu bentuk perlawanan terhadap kehidupan saat ini. Melambat menjadi salah satu faktor utama keberhasilan untuk fokus dalam waktu yang lama. Fokus tidak bisa didapatkan apabila kita kerap kali tergesa-gesa dan selalu ingin cepat mengerjakan sesuatu. Lalu, apa yang terjadi jika suatu saat kita kehilangan superpower itu? Tak dipungkiri, kita akan merasakan nuansa yang amat pahit dalam menikmati kehidupan yang begitu singkat ini. Apa artinya berenang di arus yang deras sampai-sampai kita tidak sempat menghayati sejuknya air yang mengalir?

Diterbitkan di Esai

Tinggalkan komentar