Balik ke Hulu, Bersua Ruang Jiwa (Bagian II)

Malam hari biasanya menjadi waktu tenang di ruangan yang senantiasa menjadi wadah berkumpul, bercakap, atau hanya duduk menatap layar gawai. Terpampang televisi yang sedang menyiarkan sebuah acara yang sesekali disaksikan oleh kami. Ayah dan Ibu juga biasanya menghabiskan waktu di gawainya masing-masing, karena hanya malam hari lah mereka bisa melegakan pikiran setelah seharian letih bergelut dengan pelbagai pekerjaan. Ada kalanya aku mendengar berbagai topik yang mereka bicarakan seputar pekerjaan Ayah, entah itu perihal penggilingan padi, orang-orang yang menjemur padi, atau tentang penjualan beras. Tak jarang pula aku ikut ambil bagian untuk mengawali topik yang lain.

Mulai dari hal ringan seperti membicarakan kucing di rumah yang aku namakan Neka, Aliya yang sedang menyenangi buku yang aku hadiahkan untuknya sesaat sampai di Bengkulu waktu itu, atau tentang siapa saja keluarga yang akan menyusul balik ke hulu. Hingga perkara yang serius seperti membahas dunia politik di negara republik tercinta ini. Kadang kala aku memancing Ayah untuk berdiskusi santai mengenai pemerintahan, seperti penampakan kinerja dari pemimpin kabupaten kami yang baru saja dilantik sampai kepemimpinan presiden dan Kabinet Merah Putih yang sudah berjalan sekitar empat bulan.

“Bagaimana menurut Ayah dengan kinerja presiden kita sekarang?” tanyaku sambil sedikit tersenyum kecil. “Kalau yang kita lihat, beliau dan jajarannya beberapa kali melakukan blunder bukan?” sambungku.

“Ya, seperti itulah. Ayah tau kalau dia adalah seorang yang tegas. Kita belum bisa menilainya dalam kurun waktu yang masih singkat ini. Kita lihat saja bagaimana jadinya dia memimpin sampai akhir masa jabatannya,” jawab Ayah dengan cukup tegas. Terlihat dia masih menyimpan keyakinan soal pemerintahan sekarang. Tapi, aku juga tidak bisa menebak apakah di dalam hati dia juga menyimpan keraguan seperti masyarakat lainnya.

Kalau berbicara soal pemerintahan, aku seringkali teringat dialog yang diutarakan oleh salah satu karakter yang ada di novel Morning Star karya Pierce Brown, yang menjadi buku ketiga dari seri Red Rising Saga. Karakter pria itu kerap dipanggil Quicksilver dengan nama lengkap Regulus ag Sun.

Government is never the solution, but it is almost always the problem. I’m a capitalist. And I believe in effort and progress and the ingenuity of our species. The continuing evolution and advancement of our kind based on fair competition.

Dari lagaknya, Quicksilver berdiri kokoh sebagai kaum oposisi. Dia sangat mempercayai  bahwa evolusi dan kemajuan umat manusia didasari oleh kompetisi yang adil. Jelas sekali ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di pemerintahan. Saat mendengar “kompetisi”, mereka seakan merasa jijik dan tak akan pernah mau menyentuh perkara tersebut. Kekuasaan acap kali diraup dengan cara yang licik. Mereka tidak akan pernah mau atau sekadar mencoba untuk mengerti bagaimana masyarakatnya banting tulang, memutar otak, meraung habis-habisan demi menghidupi keluarga kecilnya dengan layak. Barangkali Quicksilver benar bahwa pemerintah tidak pernah menjadi solusi, melainkan hampir selalu menjadi masalah.

Kira-kira topik yang bentuknya seperti itu yang terkadang aku ajak Ayah bahkan Ibu untuk berdiskusi santai. Sesekali, Kavi ikut bergabung menyimak atau bertanya sesuka hati. Dia mencari di internet berita-berita tentang pemerintahan yang pernah aku ceritakan sebelumnya. Berulang kali Kavi terheran melihat berita yang dia temukan itu. Sesekali juga Ayah atau Ibu menanggapi.

Ibu kadang menjawab seakan-akan kita hanya bisa berpangku tangan. “Siapa pun yang berkuasa, tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kita.”

“Kita tidak bisa begitu, Bu. Jika kita semakin tak acuh terhadap pemerintah, mereka akan menempelkan sepatu pantofel mewah dan kerasnya itu di hadapan wajah kita yang boleh jadi hanya dianggap mereka sebagai kaum rendahan. Setidaknya kita bisa melawan dengan buah pemikiran.” Aku menjawab dengan nada yang serius, tapi tetap santai dan sopan.

Dengan adanya obrolan seperti ini, aku berharap mereka juga punya pandangan sendiri terhadap pemerintahan. Aku memang tidak mengerti apalagi pandai tentang hal itu, tapi sebagai anak bangsa aku yakin setiap orang harus terlibat dalam membangun pandangan politik mereka. Apa jadinya jika kita yang dari golongan proletariat ini selalu diam saja, sementara kaum aristokrat bekerja sama dengan kaum borjuis memetakan rencana yang tak henti-hentinya menguntungkan diri mereka sendiri?

* * *

Tepat dua hari sebelum semua umat muslim di negara ini merayakan Hari Raya Idulfitri, aku dan Hasita sudah merencanakan untuk berbuka puasa bersama, yang mana akan menjadi momen pertemuan pertama kami setelah satu tahun terpaut. Sedari kuliah, aku dan Hasita sudah cukup dekat. Hingga saat pandemi empat tahun yang lalu, kami sepakat untuk membawa kedekatan itu ke arah yang lebih jelas. Meskipun terjeda oleh jarak, komunikasi yang intens dan rasa saling percaya yang mendalam menjadi jawaban untuk mengatasinya. Tidak sedikit waktu yang kami habiskan untuk berbincang membahas kegiatan apa yang baik dilakukan bila aku sudah berhulu.

Diguyur oleh hujan deras dan hawa dingin perkampungan yang aku rindukan sore hari itu, tibalah waktunya aku berkunjung ke rumah Hasita. Perjumpaan pertama setelah setahun itu terjadi dengan menggembirakan. Siapa pun manusia ketika bersua dengan ruang jiwanya—orang tua, saudara, atau pendampingnya—pastilah akan merasakan pikiran dan rasa senang. Begitulah yang terjadi denganku ketika menghabiskan waktu bersama orang-orang yang punya tempat khusus di dalam kalbuku, di kampung yang udara sejuknya masih terasa amat nyaman ini.

Hasita dan ibunya membuka ruang untukku masuk ke dalam ruang tamu. Seketika aku menanyakan bagaimana kabarnya. Melihatnya tersenyum dan menjawab semuanya baik-baik saja dengan rasa syukur, aku merasa lega. Di sana kami berbasa-basi sedikit sambil menghabiskan waktu seraya hujan masih mengguyur dengan deras. Ayahnya juga menghampiri sesekali ikut dalam obrolan. Saat sekiranya hujan sudah reda, aku dan Hasita mulai bersiap-siap untuk berangkat. Setelah pamit dengan ayah dan ibunya, kami beranjak dengan dilapisi jas hujan menuju tempat untuk berbuka. Ditemani rintik hujan yang semakin menipis, kami menghayati waktu yang akan dihabiskan dengan baik semasa aku di sini. Semasa ketika semua yang aku rindukan menjulang di hamparan ruang dan waktu tepat di hadapanku.

Sesampainya di tujuan, kami bergegas melepaskan jas hujan yang lepek akibat terkena butiran-butiran air hujan ketika dalam perjalanan tadi. Segera kami masuk dan mencari tempat duduk, kemudian menunggu hidangan yang sudah dipesan oleh Hasita. Duduk berlesehan, saling berhadapan, dan dimediasi oleh meja kayu yang ukurannya sedikit lebar untuk dua orang. Hidangan datang tepat beberapa menit sebelum waktu berbuka.

Seusai menghabiskan makanan, kami kembali bercerita tentang apa saja demi melepas sebuah perasaan yang cukup lama terbendung. Suasana sore menjelang malam yang dingin dengan hujan yang perlahan-lahan mereda menjadi latar tempat kami bercakap-cakap. Mengutarakan semua senyum dan tawa dari sanubari yang masih sama seperti sebelumnya, tidak berubah. Tibalah saatnya kegiatan kami hari itu selesai dan pulang dengan kelegaan yang tersimpan di hati.

* * *

Hari, jam, menit, hingga detik yang dinantikan oleh seluruh umat muslim pun akhirnya tiba dengan membawa perasaan penuh keceriaan dan kesejahteraan nurani. Rasa syukur yang semua insan rasakan tak henti-hentinya membanjiri hari kemenangan itu. Semua orang di setiap sudut desa tak sabar merayakannya. Dilengkapi dengan baju koko ataupun baju baru, mereka sedari pagi sudah menghidupkan suasana jalanan. Masjid semakin dipenuhi dengan bocah, remaja, orang dewasa, dan orang lanjut usia. Mungkin ini akan menjadi nuansa khas yang hanya bisa terjadi setahun sekali atau … dua kali.

Sayangnya, masjid di desa kami agak kesusahan untuk menampung penduduknya ketika tiba hari raya seperti ini. Pun demikian dengan tahun-tahun sebelumnya. Mau tidak mau, Aku dan Kavi menempati bagian teras masjid bersama dengan beberapa pria lainnya. Di sampingku duduk seorang laki-laki yang seumuran Kavi, sepupu kami, Elio dan di belakangnya ada Ishan, sepupu laki-laki kami juga yang kira-kira berumur 12 tahun. Sesudah salat id, seperti adat istiadat sewaktu Hari Raya Idulfitri pada umumnya, semua orang saling bermaaf-maafan. Termasuk aku, Kavi, Ibu, dan Ayah. Tak lupa pula bermaaf-maafan dengan kakek, sanak saudara, dan tetangga. Serupa yang aku pikirkan tadi, mungkin momen ini juga hanya terjadi sekali dalam satu tahun. Dimana semua orang menyadari kesalahan sesamanya, saling memaafkan, lalu selazimnya manusia akan kembali melakukan kesalahan di kemudian hari.

Ada waktunya terkadang mereka yang merantau, yang terpencar di kota-kota lain belum tentu bisa merasakan momen setahun sekali ini, barangkali bisa lebih. Sungguh kesempatan yang jika dia datang harus digapai dengan sepenuh hati. Dan siapa saja yang mendapatkannya, beruntunglah dia. Berkumpul dengan keluarga besar, termasuk mengunjungi makam mereka yang sudah meninggalkan anak cucunya adalah peristiwa yang baiknya direnungkan.

Tak sedikit juga keluarga dari pihak Ayah yang berhulu tahun ini. Mereka banyak datang dari provinsi yang terletak di timur provinsi Bengkulu. Membutuhkan waktu sekitar setengah hari mereka berangkat dari provinsi Jambi demi hadir di kampung ini, kampung yang menjadi asal muasal mereka. Semuanya dilakukan ketika kesempatan itu datang dan mereka sangat ingin menjemputnya. Alhasil, banyak keluarga yang bisa ikut serta meramaikan Hari Raya Idulfitri tahun ini.

“Kavi, bagaimana kalau kita foto dulu? Mumpung lagi ramai yang hadir,” tanya salah satu kakak sepupu perempuan kami. Saat itu, kami semua baru selesai kembali dari makam dan berbincang di depan teras rumah kami.

“Kalau begitu, kita siapkan dulu bangkunya,” sahut Ayah yang sekejap mulai mengangkat salah satu kursi. Disusul dengan yang lain.

Kebetulan Kavi memang gemar memotret dan merekam sebuah momen. Dengan berbekal kamera yang dimilikinya, Kavi mengiyakan inisiasi itu. Disiapkannya tripod yang berdiri di halaman depan, sementara sisanya bersiap duduk di depan teras sembari mengambil posisi yang elok. Busana muslim yang serba putih dan cokelat seolah-olah membentuk palet warna yang menyatu padu. Menampilkan pose yang riang dan beragam membuat foto tersebut bak memiliki nyawa tersendiri di masa yang akan datang. Seberkas gambar yang mungkin akan menjadi rekam jejak sebuah keluarga yang semakin hari anak-anaknya semakin bertambah usia.

* * *

Aliya sudah sangat akrab dengan kami, sejak kecil dia sungguh dekat dengan Ibu. Karena kami bertetangga dengan neneknya, sering kali hari-harinya dia habiskan di rumah kami, entah itu menggambar, membuat kerajinan, menonton televisi, atau sekali-sekali membuka gawai. Lantaran sekarang dia sudah bersekolah, sewaktu-waktu saja dia bertamu ke rumah kami, tidak sesering saat dia belum mengenal sekolah. 

Dia anak yang cukup kreatif. Gemar sekali menikmati waktunya untuk membuat sesuatu yang unik, misalnya dia menggambar hewan di kertas, lalu dia menggunting bentuk dari gambarannya itu, dan dia jadikan mainan seolah dia sedang bereksperimen membuat barang ciptaan baru demi menghibur dirinya sendiri. Selain itu, dia juga senang belajar dan membaca. Agar dia tidak banyak mengonsumsi video-video pendek yang kerap kali muncul di lini masa media sosial yang lama kelamaan bisa mengacaukan fokusnya—apalagi dia masih anak-anak—aku memutuskan untuk menghadiahkan dia dua buah buku, buku tentang menggambar hewan imut dan buku komik tentang sains yang ada di sekitar kita. Dengan begitu, boleh jadi itu akan memupuk kebiasaan dia dalam membaca.

“Bang, aku sudah baca buku komik itu,” kata Aliya dengan wajah kecilnya yang tersenyum saat dia mendatangi rumah kami.

Mendengar hal itu, aku turut gembira karena dia sepertinya senang dengan pemberian itu. “Sudah sampai mana kamu bacanya? Menurutmu bagaimana ceritanya? Keren kan?”

“Aku sudah baca sampai …” dia berpikir sejenak sambil mengingat apa yang terakhir dia baca, “halaman berapa ya …” dia terdiam sesaat dan langsung menceritakan saja apa yang dia bisa ingat, “pokoknya ada tentang kebun wortel. Lalu, ada monster di kebun wortelnya. Dan ternyata itu cuman bayangan.” Aku mengerti, itu adalah salah satu bab yang menjelaskan tentang apa itu bayangan dan bagaimana bayangan bisa terbentuk. Walaupun belum bisa banyak mengingat isinya—wajar saja karena dia masih kelas 1 SD—tapi tampaknya dia sudah cukup paham di beberapa bagian.

Saat sedang asyik bercerita, tak lama kemudian Neka bergabung untuk membaringkan badannya di lantai. Kucing yang bercorak abu-abu dan putih itu tertidur pulas seakan-akan dia sudah lelah melancong seharian. Badannya yang tidak besar dan kakinya yang pendek membuat dia terlihat menjadi lebih menggemaskan. Betul memang bahwa kucing adalah salah satu hewan peliharaan yang mampu membuat kami riang, baik karena tingkah lakunya maupun rupanya. Aku membelai bulu Neka yang sedikit tebal, bergantian dengan Aliya yang ikut-ikutan. Perut Neka tampak membesar yang menandakan bahwa ia sedang mengandung bayi-bayi kucing. Saat itu aku perkirakan mereka akan lahir di bulan depan.

* * *

Selain kucing, buku juga menjadi kehangatan dalam menghibur batin. Lebih dari itu, buku juga bisa menjadi penolong kita untuk membuka wawasan seluas mungkin tentang cakrawala yang tiada habisnya. Aku sudah menyiapkan bahan bacaan untuk di kampung. Pagi itu, aku membuka roman karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Anak Semua Bangsa, buku kedua dari Tetralogi Buru. Tetralogi yang menceritakan tentang perjuangan terhadap penindasan oleh kolonial ini menjadikannya sebagai salah satu karya sastra yang paling berpengaruh di Indonesia, bahkan di mancanegara. Kerap kali tetralogi ini disebut sebagai “Sumbangan Indonesia untuk dunia”. Tak heran rasanya karya sastra nan megah ini menyandang gelar tersebut.

Sang cahaya yang baru terbit dari timur menemani suasana pagi dengan udara yang sejuk, bersih, dan alami. Sinarnya yang berwarna kuning tampak begitu anggun, disertai dengan gumpalan awan yang mengapung pelan bagaikan segerombolan ikan yang berenang dengan tenang di luasnya samudera. Memandangnya sembari duduk di kursi teras dan membaca buku ialah suatu hal yang sangat layak untuk dinikmati. Sungguh sederhana memang, tapi itulah yang membuatnya mampu masuk ke relung sanubari yang paling dalam. Meresapi kata demi kata, frasa demi frasa, kalimat demi kalimat, sampai paragraf demi paragraf dari gagasan yang tak akan terbelah oleh waktu. Beruntunglah kita masih bisa menyelami karya-karya besar yang masih abadi hingga saat ini.

Beberapa hari sebelum kembali lagi ke hilir, aku dan Hasita menyempatkan waktu untuk merasakan suasana pagi hari di sebuah danau buatan yang berada sekitar 10 kilometer dari rumah. Sebelum berangkat, kami sudah mengatur rencana untuk membawa masing-masing satu buku untuk dibaca nanti. Sesampainya di tepi danau itu, kami segera membuka buku dan membacanya selama kurang lebih 45 menit. Aku melanjutkan bacaanku sebelumnya dan Hasita melanjutkan novel Sisi Tergelap Surga karya Brian Khrisna. Suasana hening, hanya pikiran yang menjelajah ke dalam sebuah kisah dengan panorama perbukitan yang menjulang tepat di depan mata.

“Benar kan seperti yang pernah aku bilang kalau buku itu menceritakan kisah yang memilukan.” Aku memulai percakapan setelah kami menutup buku.

“Sangat disayangkan memang nasib para tokoh yang ada di novel ini.” Hasita berhenti sejenak dan mengutarakan pendapatnya terkait penulisan novel itu. “Gaya penulisannya cocok untukku. Aku juga membacanya dengan cukup lama malam tadi.”

“Sewaktu aku membacanya, terbesit di hatiku betapa kerasnya hidup di pinggiran ibu kota. Mereka melakukan apa saja untuk menyambung hidup,” ungkapku.

“Sungguh tangguh orang-orang yang menghadapi kisah seperti itu.” Hasita seperti menyatakan perasaannya terhadap apa yang sudah ia renungkan dari bacaan itu.

* * *

Datanglah saatnya ketika aku harus kembali melintasi selat, menuju pulau dengan penduduk yang padat di seberang. Hilir yang menjadi tempat pertaruhan nasib semua pengembara dari berbagai hulu. Menapak langkah yang mengharuskan seorang insan meninggalkan hulunya yang damai dan ruang jiwanya untuk sementara. Tertatih menyambut dimensi kosong yang akan terabaikan kembali. Berat rasanya untuk berhadapan dengan hal-hal yang kadangkala membuat kita bertanya lagi, apa artinya semua ini. Apakah hidup selalu dihadapkan dengan pilihan? Lantas pilihan mana yang paling benar? Tidak ada jawaban yang pasti, karena semuanya memang diciptakan untuk tidak perlu dicari artinya.

Aku sudah mempersiapkan semua barang yang akan dibawa kembali. Sebelum berangkat, aku berpamitan dengan orang-orang terdekat. Tersimpan rasa murung saat beberapa menit lagi raga ini akan beranjak untuk sementara. Kami berangkat pagi-pagi sekali dari rumah menuju bandara. Kira-kira pada pukul 05:45 kami sudah melaju dengan mobil yang dikemudikan oleh Ayah. 

Setelah menelusuri perbukitan dengan jalanan yang naik turun dan perkotaan selama kurang lebih 3 jam, kami sampai di bandara. Tempat di mana dua minggu yang lalu kami pertama kali berjumpa lagi setelah satu tahun lamanya. Kini, tempat itu menjadi lensa yang mengamati kisah orang-orang yang tak lama lagi akan kembali berjuang. Ibu memelukku seperti kedatanganku waktu itu. Di matanya terkandung lara sekaligus harapan baik yang tak hentinya didoakan kepadaku. Ayah dan Kavi kembali menyembunyikan perasaannya, kali ini terlihat seperti yang dirasakan oleh Ibu.

Barangkali, beginilah nasib semua manusia yang dipaksa oleh keadaan demi menggapai asa yang tidak seorang makhluk pun tahu seperti apa rupanya. Sampai kapan pun aku tidak akan ingin lupa apa yang menjadi dasar dari kedigdayaan seorang anak manusia. Hulu menjadi jawaban atas semua itu. Sementara hilir yang akan selalu menjadi sumber pertanyaannya.

Diterbitkan di Esai

Tinggalkan komentar