Hampir seluruh umat sudah tentu mendambakan rasanya balik ke hulu tempat dia berasal. Tempat di mana dia bakal bersua ruang jiwa dengan sepuasnya. Membicarakan kabar, bertukar pengalaman, dan mengisi ruang berkumpul yang sudah lama dinantikan. Mendekap hangat orang tua dan saudara yang sudah lama menyulam waktu demi menatap mata yang sedang menyinari semesta tanpa batas. Menapaki kaki ke tanah kampung halaman sungguh terasa seperti ada yang memenuhi dimensi kosong yang sudah lama terabaikan.
Semakin dewasa, kita semakin dipaksa untuk berenang dari hulu yang damai menuju hilir yang entah bagaimana wujudnya. Aliran itu tidak sepenuhnya mengalir dengan tenang. Kadang kala berhenti, tak jarang pula mengombang-ambing. Rela mengorbankan ketenangan jiwa demi menempuh sungai dan lautan yang tidak pasti arusnya.
Berangkat dari hilir di bulan puasa hari ke-27, aku menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa dan tiket pesawat. Lucu melihat harga tiket penerbangan domestik lebih mahal daripada penerbangan internasional. Apalagi libur hari raya sudah dipastikan membuat harga tiket semua moda transportasi lintas kota dan provinsi meroket tajam. Memang, kemarin pemerintah sempat memberikan subsidi. Tapi, tetap saja tidak membuat harganya turun drastis. Bayangkan, harga normal tiket dari Jakarta ke Bengkulu saja berkisaran 1 jutaan rupiah. Apalagi saat hari raya yang bisa naik sampai 300 ribu rupiah. Sedangkan harga normal penerbangan ke Singapura atau Kuala Lumpur bisa didapatkan di rentang 600 sampai 800 ribuan rupiah. Betapa jauh perbedaannya. Dari dulu orang-orang memang banyak yang mengeluhkan soal ini, apalagi aku yang hanya bisa menumpang kelas ekonomi.
Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, aku segera mendatangi check-in counter. Setelah menitipkan bagasi, aku berjalan menuju ruang tunggu. Untungnya maskapai yang akan aku tumpangi bertengger di Terminal 1B, tidak seperti tahun lalu di Terminal 3 yang mengharuskan aku berjalan ke ruang tunggu selama sekitar 10 menit. Aku menghabiskan waktu di ruang tunggu dengan membaca ulang cerpen karya Haruki Murakami yang berjudul Birthday Girl—yang dulu sempat aku baca saat masih kuliah, tapi sedikit lupa isinya. Layaknya gaya penulisan Haruki Murakami, cerpen itu menyimpan cerita dan metafora yang membutuhkan waktu untuk merenungi maknanya. Sekitar 45 menit kemudian, aku memasuki pesawat dan take off menuju hulu membayangkan perjumpaan yang sudah terpaut satu tahun.
Melintasi langit yang dipenuhi dengan awan dan cuaca yang sangat cerah, kira-kira 1 jam 15 menit akhirnya kami mendarat dengan selamat dan penuh kebahagiaan di bandara tujuan. Bandara Fatmawati biasanya hanya punya satu kedatangan penerbangan. Tempat pengambilan bagasinya hanya di satu tempat dan tidak perlu menunggu dengan waktu yang lama.

Aku berjalan sembari menenteng koper, menyandang tas jinjing, dan menggendong ransel menuju pintu “Arrival/Kedatangan”. Sejenak setelah itu, terlihat Ibu, Ayah, dan adik melangkah menghampiriku. Ibu menggandeng tangan seorang anak kecil perempuan yang ikut bersama mereka. Ayah terlihat senyum dengan sedikit menyembunyikan kebahagiaan, begitu pula adikku. Ibu langsung merangkul dan menangis terharu menyambut kedatanganku. Seorang anak kecil itu terlihat malu-malu. Dan sesaat aku menanyakan bagaimana kabarnya.
“Katanya dia mau foto sama pesawat,” ujar Ibu sambil tertawa.
“Itu, pesawatnya ada di sana.” Aku menunjuk ke arah belakang bandara sambil ikut tertawa. “Kalau kamu mau masuk, kamu harus punya tiketnya dulu ya biar bisa foto sama pesawat,” sambungku sambil menyeringai.
Anak kecil yang berumur tujuh tahun itu bernama Aliya. Dia terlihat polos mendengarkan jawabanku itu. Entah dia menganggap itu guyonan atau tidak, yang pasti dia juga kelihatan bahagia.
“Kavi, tolong bawa barang-barang abangmu itu ke mobil,” perintah Ayah.
“Tidak perlu repot-repot. Aku bawa sendiri saja,” jawabku. Beberapa detik berselang aku menjawab lagi. “Ya sudah, bawa kopernya saja, tote bag-nya aku bawa sendiri.”
Kami berjalan menuruni anak tangga dan menuju parkiran. Memasuki mobil yang sudah diparkir sekitar 30 menit yang lalu. Kami keluar dari gerbang bandara dan bersiap menuju rumah yang harus kami tempuh lebih kurang 4 jam. Di perjalanan, aku kembali merenungi betapa berbedanya suasana di sini dengan di ibu kota. Terasa lebih lega dan leluasa ketika melihat jalanan yang cukup sepi dan tidak semrawut seperti yang saban hari aku alami sendiri di ibu kota. Menelusuri garis pantai yang saat itu sedang diterpa air laut pasang, aku kembali teringat saat-saat aku menempuh pendidikan SMA di kota ini. Itulah saat pertama kali aku memberanikan diri memulai perjalanan ke tempat yang baru. Mencari tahu lebih banyak bentuk dunia yang sebenarnya.
* * *
Setelah melewati Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Bengkulu Utara selama kurang lebih 3 jam disertai curah hujan yang tidak menentu, tiba saatnya kami melihat garis perbatasan Kabupaten Lebong. Rumah yang menjadi tempat untuk membuang letih masih harus ditempuh kira-kira 30 menit lagi. Bila dipikir-pikir, tentu membutuhkan langkah yang agak panjang untuk berhulu. Menempuh kota, menyeberang selat, melewati kota lagi, naik turun bukit, hanya untuk melegakan pikiran di sebuah loka tempat bernaung sehari-hari. Kendati demikian, nyatanya aku acap kali menikmati perjalanan itu.
Pukul setengah enam sore menjadi waktu ketibaan kami di rumah. Saat menginjakkan kaki pertama kali setelah satu tahun, aku kembali mengingat perasaan dan isi rumah itu. Terdapat beberapa perubahan yang sebenarnya sudah diceritakan padaku. Aku langsung menuju kamar dan merapikan bawaan. Duduk sebentar lalu mengabari dia kalau aku sudah berhulu dengan selamat. Ayah dan Kavi sedang menurunkan beberapa barang dari mobil. Ibu langsung menyiapkan santapan untuk berbuka puasa. Sementara, Aliya bergegas masuk ke rumah neneknya yang berada tepat di samping rumah kami.
Malam itu tidak banyak hal yang kami lakukan, hanya sekadar dihabiskan dengan senda gurau seraya merebahkan badan seperti biasa.
* * *
Keesokannya, seperti hari biasa di bulan Ramadhan, kami mengawali dengan menyantap sahur bersama. Lalu, setelah mentari mengepakkan sayapnya dari arah timur dan bertengger seolah membangunkan dunia di perputaran hari yang baru, saat itu juga kami mulai melakukan kegiatan sehari-hari. Ibu sudah berada di posnya untuk menghadapi berbagai pekerjaan rumah tangga. Mengurus rumah tangga bukanlah masalah yang sepele, melainkan dedikasi yang sangat mulia dan tidak bisa terbayarkan sampai kapanpun. Ayah sudah bersiap mengerahkan tenaganya untuk mengangkat berpuluh-puluh kilogram karung padi maupun beras. Berat rasanya untuk menjalani pekerjaan seperti Ayah. Aku dan Kavi beberapa kali pernah membantunya di penggilingan padi. Diiringi dengan dengungan mesin dan dedak, kami mengupayakan tenaga kami dalam melaksanakannya. Aku ingat Ibu pernah mengatakan bahwa seberat apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan senang hati, maka kita akan mampu bertahan. Mungkin itulah yang menjadi salah satu alasan Ayah. Sementara, aku dan Kavi mulai bercakap-cakap lazimnya saudara laki-laki.
Telah lama rasanya aku tidak membuka dua gepokan kartu itu. Satu menempati kotak berwarna hijau dan satu lagi di kotak berwarna ungu. Tergambarkan bola yang di bagian atasnya berwarna merah dan putih di bagian bawahnya, dikelilingi oleh garis hitam, dan terdapat lingkaran kecil berwarna putih di bagian depannya. Satu atau dua malam setelah kehadiranku di rumah, aku memutuskan untuk mengeluarkan dua kotak kartu itu dan menantang Kavi yang sedari kemarin terlalu yakin bisa mengalahkanku.
Kami menyiapkan alas bermain (playmat) yang berwarna hijau dan terbuat dari kertas yang terasa agak licin. Di sana terpampang aturan bermain, arena bertarung, dan tempat meletakkan kartu. Kami duduk di atas karpet berwarna merah dengan tekstur seperti berbulu kasar dan mulai mengatur persiapan untuk bermain.
“Kau kelihatan terlalu yakin, padahal tidak punya strategi sama sekali,” sindirku dengan sedikit menyeringai.
“Gampang. Lihat saja nanti. Kalaupun nanti aku kalah ya wajar saja, karena sudah lama tidak main ini,” jawab Kavi dengan lugas.
Aku mengiyakan apa yang dibicarakan seolah sudah tahu siapa yang akan menang. Sudah lama memang aku tidak bermain ini, tapi setidaknya masih terpikirkan olehku beberapa strategi yang mungkin ampuh. Sesaat setelah menyiapkan arena bertarung, kami langsung menyiapkan kartu. Akibat sudah lama tidak bermain ini, kami berdua jadi sedikit meraba-raba peraturan bermainnya.
Setelah mengacak dek kartu, kami mengeluarkan masing-masing tujuh kartu, lalu menatapnya. “Sial. Aku tidak dapat kartu pokemon basic. Kau bagaimana?” tanyaku pada Kavi.
“Tentu saja aku punya,” jawab Kavi dengan sangat percaya diri. “Cukup beruntung.” Kavi seolah-olah berpikir kalau dia yang akan menguasai alur pertarungan ini.
“Baiklah, kalau begitu berarti nanti kau akan mengambil satu kartu lagi sesuai peraturannya.” Aku kembali mengingatkan bagaimana kondisi ketika lawan tidak mendapatkan kartu pokemon basic.
Beruntungnya, hanya butuh satu kali percobaan untuk pokemon basic berada di tanganku. Kami kemudian menugaskan satu pokemon pertama yang akan bertarung dan sisanya ditempatkan sebagai cadangan. Kembali meraba-raba aturan pertandingan, lalu tanpa banyak basa-basi kami langsung memulai. Pertarungan berjalan selama hampir 40 menit. Di tengah-tengah, kami kembali membahas peraturan sambil tetap mengalirkan permainan.
Tibalah saatnya Kavi terdesak dan terlihat sudah tidak ada harapan lagi seakan-akan kartu yang dipegangnya meneriakkan rasa keputusasaan.
“Sudah berapa kali aku bilang, tidak perlu banyak bicara. Lihat dan perhatikan cara bermainku. Pakai otakmu untuk memikirkan strategi jitu,” tegasku.
Terlihat Kavi memang tidak bisa lagi bergerak melawan seranganku saat aku akan mengambil satu kartu poin terakhir. Persis seperti yang aku bayangkan dari sebelum pertandingan, aku memenangkannya dengan cukup mudah. Dengan begitu, berakhir sudah pertandingan hari itu. Tidak ada rasa sesal ataupun kecewa dari Kavi, walaupun aku beberapa kali melemparkan gurauan. Dia hanya menyeringai dengan melontarkan berbagai alasan. Permainan ini semata-mata kami mainkan untuk menemukan kembali keseruan dalam bermain.
* * *
Selama di kampung halaman, selain beberapa kali bermain Pokemon TCG, kami juga sering bermain sepak bola. Acap kali berdua saja, ada kala bertiga dan berempat dengan sepupu kami yang kadang-kadang saja ikut bermain. Di sana kami mencoba-coba berlatih kemampuan passing dan shooting. Dilanjutkan dengan permainan saling rebut dengan membobol gawang masing-masing yang hanya berukuran setengah langkah kaki. Keringat yang bercucuran, nafas yang terengah-engah, dan detak jantung yang berada di zona 3 sudah cukup membuat kami lelah dan mengakhiri permainan sambil beristirahat. Sepak bola memang sudah menjadi olahraga yang akan selalu seru.

Kembali teringat di suatu masa saat kami semua masih seorang bocah yang tidak mengenal dengan cara apa dunia berputar. Masa di mana permainan hanya bisa dilakukan dengan temu sapa tanpa embel-embel komunikasi jarak jauh. Masa di mana hiburan yang bisa dikonsumsi hanyalah permainan tradisional anak-anak, kejar-kejaran, bermain sepak bola hingga azan magrib berkumandang, stasiun televisi Spacetoon, hari minggu yang didampingi berbagai macam anime, memanjat pohon, berenang di saluran irigasi, dan masih banyak lagi hal yang sudah tidak bisa dinikmati ketika saat ini kami semua sudah beranjak dewasa.
Sekarang dunia sudah menuju masa depan yang aku—bahkan kita semua—tidak akan pernah bisa pikirkan. Setidaknya pada zaman ini, sudah menjadi hal yang mutlak bahwa hiburan yang pasti dimiliki oleh semua orang adalah internet dan gawai. Menatap layar hingga 10 jam sehari tanpa memperhatikan waktu sudah menjadi hal yang biasa bagi sebagian orang. Bagaimana rasanya jika kita semua dengan umur di masa sekarang kembali ke masa ketika penyebaran internet dan gawai tidak segencar ini dan hanya hiburan sederhana yang tersedia? Akankah kita merasa lebih baik, lebih buruk, atau bahkan tidak ada rasa istimewa sama sekali?
Begitulah kiranya sesuatu yang membedakan masa dulu dan masa kini. Terkadang kita hanya perlu melanjutkan hidup untuk melihat masa depan yang potensial. Masa dulu sudah menjadi ingatan yang selamanya akan tertulis dalam perjalanan susah payah kehidupan. Masa kini akan menjadi jawaban terhadap apa yang dulu sempat kita inginkan dan akan menjadi jejak yang sulit terhapus, bahkan bisa dijadikan cerita lucu untuk masa yang akan datang. Suatu saat nanti, kita akan tersenyum melihat itu semua laksana manusia memandang kagum bintang yang mengutarakan sinar masa lampau ke bumi dari jarak berpuluh tahun cahaya.