Rutinitas tanpa Nada seorang Buruh di Ibu Kota

Nyatanya ibu kota tidak seperti seorang ibu yang selalu menyayangi, merawat, dan menanyakan setiap hari apakah aku baik-baik saja. Tak sejalan dengan hati seorang ibu, hati ibu kota jauh lebih bangkar. Tak bisa lunak ketika mataku dibanjiri sungai kecil karena dihantam oleh riuhnya kehidupan. Tak bisa digenggam ketika tubuhku merindukan rangkulan yang hangat.

Ibu kota tidak acuh siapa yang membutuhkannya, tidak pula acuh apakah manusia yang dipeluknya menderita sejadi-jadinya. Dia tidak lebih dari sekadar panggung pertunjukkan bagi orang-orang yang sampai titik darah penghabisan berjalan jauh dari ibu kandungnya. Apakah benar kisah orang-orang terdahulu tentang ibu kota semanis itu? Atau justru mereka diam-diam mengubur pahitnya?

Hari itu aku melangkahkan kaki ke gedung biasa tempat kami dipekerjakan oleh korporasi. Biasanya aku menggunakan transportasi umum untuk bepergian, termasuk ke kantor. Aku menempuh perjalanan menggunakan angkot dan bus. Saat di perjalanan aku sering membaca buku atau mendengarkan musik. Kemarinnya, aku baru saja menyelesaikan buku Educated karya Tara Westover. Sering kali setelah menyelesaikan sebuah buku, aku memberikan jarak sehari atau dua hari untuk membaca buku selanjutnya. Karena pada hari itu aku sedang tidak memegang buku dan sedikit bosan mendengarkan musik, aku hanya bisa termenung melihat kacaunya lalu lintas ibu kota. Mobil dimana-mana, motor dimana-mana, sehingga macet selalu mencekik mereka.

Sering aku berpikir apa alasan sebenarnya orang-orang masih suka menaiki kendaraan pribadi di tengah macet yang terasa tak pernah usai itu? Padahal ibu kota telah menyuap penduduknya dengan moda transportasi umum yang cukup memadai. Memang tidak seperti negara-negara maju yang fasilitas transportasi umumnya sudah sangat memadai. Tidak seperti kereta di Hongkong, Jepang, ataupun negara tetangga, Singapura yang jalurnya seperti membentuk jaring laba-laba, armada yang banyak, dan kedatangan yang tepat waktu.

Selain transportasi umum, pernah beberapa kali aku mengendarai sepeda ke kantor. Hanya beberapa kali, setelah itu aku tidak betah dengan jalanan ibu kota yang tidak pernah ramah ke pejalan kaki dan pesepeda. Mereka—pengendara motor dan pengemudi mobil—seolah-olah menutup mata dan hati dengan pengguna jalan yang lain. Semua orang tau ibu kota sudah mencoba membujuk penduduknya untuk bersepeda. Terbukti dengan jalur kecil berwarna hijau khusus sepeda sudah dibangun sepanjang 314,19 kilometer hingga 2024 dan akan ditambah lagi sepanjang 3,8 kilometer [1]. Namun, sayangnya apa yang terjadi di lapangan tidak seperti yang mereka harapkan. Sepertinya perjalanan ibu kota untuk memiliki fasilitas jalur sepeda dan jumlah pesepeda seperti di Belanda masih sangat jauh.

Masyarakat yang enggan melepaskan kendaraan pribadi, jalur sepeda dan jalur bus yang semrawut dan tak jarang juga diembat pengendara motor dan mobil pribadi, trotoar yang tidak ramah pejalan kaki karena hampir selalu dihuni oleh pedagang kaki lima, persimpangan yang selalu menjadi penyebab macet, dan kepadatan penduduk yang sudah di luar nalar membuat ibu kota setiap hari menghembuskan nafas yang beracun. Masih banyak lagi hal yang membuat ibu kota selalu mencekik manusia yang berada di pelukannya dengan kemacetan.

Sesampainya di kantor, untungnya aku masih kebagian kursi. Ironis memang bekerja di sebuah tempat yang jumlah kursi dan mejanya tidak sebanding dengan jumlah buruhnya. Satu-satunya cara untuk mengakalinya adalah dengan WFH (Work From Home). Selain tidak membuat kantor kelebihan muatan, kami tidak perlu juga bergelut dengan hiruk-pikuk di jalan. Hari itu, tidak banyak juga hal yang bisa dilakukan di kantor. Kebetulan aku hanya mendapatkan tugas yang tidak terlalu sulit.

Di sela-sela waktu, terkadang ada rekan-rekan yang bertanya terkait pekerjaannya. Ketika tidak ada lagi pekerjaan yang perlu aku lakukan, biasanya aku ikut membantu mereka. Tak jarang pula ketika kami dalam posisi idle—sedang tidak mengerjakan apapun, antara tidak ada tugas lagi atau semuanya sudah selesai—kami bersenda gurau dan berbagi cerita. Tak sedikit juga kisah yang diceritakan menarik perhatian kami. Dengan interaksi antara manusia, kita jadi bisa saling memahami satu sama lain. Dengan beragamnya ras, suku, dan sifat, kita juga bisa menumbuhkan rasa toleransi dan empati. Pengalaman yang mungkin belum pernah kita temui bisa kita rasakan dari cerita orang lain.

Waktu menunjukkan pukul lima sore, waktu dimana kami bersiap untuk bergulat lagi di jalanan, menghirup polusi, memikul stres, dan memimpikan untuk segera merebahkan diri di kasur. Persis seperti saat pergi, saat pulang pun aku juga menggunakan transportasi umum. Tampak perbedaan yang sangat jelas sore hari itu. Jalanan lebih macet dari biasanya. Dari kantor aku menaiki bus Transjakarta. Saat mulai perjalanan pulang, aku ditemani dengan lagu-lagu Ryokuoushoku Shakai. Band pop rock asal Jepang yang belakangan ini sedang aku gemari.

Lagu pertama yang berjudul Shout Baby menampilkan vokal yang apik dari Haruko Nagaya, sentuhan piano yang lembut dari peppe, petikan gitar yang harmonis dari Issei Kobayashi, dan bassline yang menari-nari dari Shingo Anami. Lagu tersebut menceritakan tentang seseorang yang sedang berjuang dalam menghadapi hubungan yang rumit dan keinginan untuk berubah. Tokoh dalam lagu tersebut seolah-olah ingin berteriak mengekspresikan perasaannya. Namun, karena suaranya yang perlahan memudar, dia tidak bisa melakukannya. Dia juga tahu kalau perasaannya tidak akan pernah bisa sampai. Karena itulah, dia hanya bisa memutuskan untuk berubah.

Lirik dan irama dari lagu itu seperti mengutarakan perasaanku yang ingin berteriak mengeluarkan benak yang semakin letih dengan keadaan di ibu kota. Namun, apa daya aku tidak punya keberanian untuk melakukan itu. Kalaupun bisa, teriakanku rasanya tidak akan pernah dipedulikan.

Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di tempat aku biasanya menunggu angkot. Tak lama kemudian, angkot yang jurusannya sesuai dengan tujuanku berhenti untuk menampung penumpang. Berjalan menelusuri padatnya ibu kota ketika senja dan malam. Melihat wajah lelah semua orang. Dan melihat atraksi dari lampu-lampu kendaraan yang tampil di semua sisi. Semua itu adalah sajian sehari-hari. Setelah sampai di kosan, aku menikmati makan malam, membersihkan badan, dan segera berbaring untuk menghilangkan ketegangan dan kepahitan hari ini.

Rutinitas itu berlalu tanpa nada setiap hari. Hanya huru-hara yang terdengar seperti nada disonan. Di sini, aku hanya bisa membuat nada harmonis sendiri untuk menikmati hidupku dengan melakukan apa yang membuatku bahagia dan mengekspresikan perasaanku lewat bacaan dan tulisan.

Ibu kota memang menyimpan kisah yang manis, tapi dia juga memendam kisah yang pahit. Semua kisah itu dijejali seperti dia sedang memberikan ASI ke anak-anaknya yang sedang berjuang mati-matian. Anak-anak yang dilahirkan dari berbagai tempat dan berkelana mencari kehidupan, serta jati dirinya.

Daftar Pustaka

[1] https://www.tempo.co/politik/jakarta-akan-tambah-3-8-kilometer-jalur-sepeda-tahun-ini-1277550

Diterbitkan di Esai

Tinggalkan komentar